Membaca Kembali Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar Dalam Penanganan Covid-19

Mekanisme pengajuan PSBB berpola bottom to up (inisiasi dari daerah ke pusat), dengan mekanisme sentralistis (diterapkan atau tidaknya PSBB tergantung keputusan Pemerintah Pusat) dan tugas pembantuan sehingga kurang mengelaborasi lebih detail kewenangan pemerintah daerah dalam penanganan COVID-19. Hubungan pusat dan daerah seperti ini dikenal dengan the agency model (tugas pembantuan lebih besar).

Ada catatan kritis dari kebijakan PSBB yaitu tidak tercantumnya UU 23/2014 tentang Pemda dalam bagian landasan yuridis, sehingga dasar pijakan dari desentralisasi dan otonomi daerah dapat dikatakan tidak ada. Hal ini mungkin diakibatkan status kedaruratan kesehatan yang telah ditetapkan, yang mana PSBB pada akhirnya menjadi pure usulan pemerintah pusat. Sehingga, penanganan juga akan bersifat terpusat, daerah hanya bisa mengusulkan pengajuan PSBB.

Masalah Seputar Penerapan PSBB

Beberapa masalah pernah terjadi saat penerapan PSBB salah satunya adalah terkait dengan usul penghentian operasional Kereta Rel Listrik (KRL) dan Izin Operasional Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) di wilayah Jabodetabek. Masalah ini timbul karena Jabodetabek telah menerapkan kebijakan PSBB. Pada faktanya, operasional KRL tetap berjalan meskipun lima kepala daerah telah mengajukan usulan kepada Kemenhub untuk menghentikan operasional KRL selama PSBB. Sayangnya usul tersebut ditolak oleh Kemenhub. Adapun Kemenhub melalui Permenhub No. 18 Tahun 2020 hanya melakukan pembatasan jumlah penumpang KRL dan menerapkan protokol kesehatan serta membatasi waktu operasional KRL (liputan6.com, 2020). Dalam masalah ini Gugus Tugas Penanganan COVID-19 tidak buka suara.