Menakar Kewenangan DPD dalam Pembentukan RUU

Gagasan tim ahli yang cenderung mengadopsi tipe parlemen bikameral kuat, oleh ketua PAH I Jacob Tobing (F-PDIP) dianggap hanya cocok untuk konteks negara federal. Sementara dalam bentuk negara kesatuan, dan terkait pemahaman tentang kebangsaan, pilihannya adalah tipe parlemen bikameral lunak. Oleh karena itu, apabila kita mengkaji konstitusi khususnya terkait peran DPD sebagaimana termakhtubkan dalam 22D UUD NRI 1945, banyak pakar berpendapat bahwa peran DPD sangat timpang dibandingkan dengan DPR. Pada tahapan prosedural, DPD hanya ikut dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) di tahap I. Namun pada pembahasan tahap II dilaksanakan dalam sidang Paripurna DPR hanya melibatkan DPR dan Presiden guna mengambil persetujuan bersama atas sebuah RUU layak atau tidak diteruskan menjadi undang-undang.

Realitas yang melemahkan kedudukan DPD ini kemudian mendorong DPD untuk mengajukan permohonan judicial review terhadap Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan terhadap UUD NRI 1945 pada tanggal 14 september 2012. Permohonan pengujian dua undang-undang tersebut terhadap UUD NRI 1945 ditempuh dengan maksud untuk memperoleh penafsiran yang lebih tepat dan pasti bagi kepentingan bersama dalam sistem legislasi antara DPR, DPD, dan Presiden. Setelah menempuh beberapa sidang, MK meneguhkan lima hal melalui Putusan MK No. 92/PUU-X/2012 yaitu sebagai berikut:

  1. DPD RI terlibat dalam pembuatan Program Legislasi Nasional (Prolegnas)
  2. DPD RI berhak mengajukan RUU yang dimaksud dalam Pasal 22 D ayat (1) UUD NRI 1945 sebagaimana halnya atau bersama-sama dengan DPR dan Presiden, termasuk dalam pembentukan RUU Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
  3. DPD RI berhak membahas RUU secara penuh dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945.
  4. Pembahasan RUU dalam konteks Pasal 22D ayat (2) UUD NRI 1945 bersifat tiga pihak (tripatrit), yaitu antara DPR, DPD dan Presiden.
  5. MK menyatakan bahwa ketentuan dalam undang-undang MD3 dan Undang-Undang P3 yang tidak sesuai dengan tafsir MK atas kewenangan DPD dengan sendirinya bertentangan dengan UUD NRI 1945, baik yang diminta maupun tidak.

Melihat putusan MK, maka hal ini hanya berimplikasi bahwa DPD dapat turut terlibat dalam pembahasan RUU pada tingkat II bersama dengan DPR dan Presiden. Meskipun demikian, masih terdapat banyak pihak yang menginginkan DPD memiliki kedudukan yang setara dengan DPR, khususnya dalam pengesahan suatu RUU. Hal ini dikarenakan, ketika DPD hanya ikut serta dalam tahap pembahasan, maka DPD seolah-olah bertindak sebagai organ auxiliary DPR yang hanya berperan memberi pertimbangan semata. Gambaran kedudukan DPD memperlihatkan bahwa DPD menjadi lembaga negara yang miskin akan kewenangan.