Misalnya saja pada Pasal 28 ayat (1) dan (2), yang berbunyi Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik. Setiap Orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Akan tetapi, Netizen belum memahami betul bahwa apakah warga negara asing atau badan hukum asing dapat melaporkan perilaku-perilakunya terhadap pihak yang berwajib. Sehingga Netizen merasa tidak ada beban tanggungjawab, baik moral maupun material ketika melontarkan kata-kata kasar terhadap warga negara asing. Padahal pada Pasal 1 angka 21 Undang-Undang ITE, Warga negara asing maupun badan hukum juga termasuk dalam kualifikasi orang. Artinya WNA dan Badan Hukum Asing dapat melaporkan Tindakan-tindakan Netizen untuk melanjutkan proses perkara dan memungkinkan untuk dilakukan penahanan.
Sebagai Langkah konkret untuk menangkal permasalahan ini, sebenarnya Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah merancang pembentukan suatu Tim “Komite Etika Berinternet”. Tim tersebut bertugas untuk merumuskan panduan praktis terkait budaya serta etika berinternet dan bermedia sosial. Nantinya Komite Etika Berinternet ini beranggotakan berbagai pemangku kepentingan yang berasal dari berbagai macam unsur, seperti Kemenkominfo, kementerian dan Lembaga terkait, akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta pemangku kepentingan lain yang terkait. Pembentukan tim Komite Etika Berinternet tentu saja untuk mengedukasi para netizen dalam menggunakan sosial media secara bijak.