Apabila merujuk pada pasal 180 ayat (1) KUHAP dinyatakan bahwa “dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat diminta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan”. Hal ini secara tidak langsung juga menjustifikasi adanya konsep Amicus Curiae dalam sistem peradilan Indonesia. Amicus Curiae tidak diatur secara jelas dalam KUHAP karena sifat kesaksiannya yang tidak secara langsung berada di kejadian perkara. Namun, bukan berarti Amicus Curiae tergolong hearsay evidence atau desas desus antar saksi. Makna saksi sudah diperluas di Putusan MK 65/PUU-VIII/2010 bahwa siapapun dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan tindak pidana yang tidak selalu ia dengar, lihat, dan alami sendiri. Putusan ini dihadirkan mengingat banyaknya kasus pemerkosaan, perzinahan, dan sejenisnya yang hanya terpaku pada keterangan korban. Sehingga, memerlukan pihak tambahan untuk menguatkan sebuah pembuktian.

Perlu diperhatikan lagi bahwa konsep Amicus Curiae selaku intervensi dapat diterapkan namun memerlukan prinsip landasan humanis yang kuat kepada pelakunya. Konsep ini dapat menjadi penyeimbang posisi para pihak (equality of arms) termasuk kepentingan publik dan mendorong kualitas putusan pengadilan terutama dukungan informasi empiris. Disaat keterangan Amicus Curiae dapat diterima, sosok hakim harus tetap imparsial dan bersifat independen dalam membuat putusannya. Hal ini dikhawatirkan siapapun dapat melibatkan pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk mempengaruhi pertimbangan hakim mengingat belum adanya standar khusus terkait kriteria subjek Amicus Curiae. Maka, sudah lazimnya kepentingan yang diganyang subjek Amicus Curiae harus mewakili kepentingan publik dan bersubstansi yang relevan akan pokok perkara.