Mengapa Jumlah Hakim Harus Ganjil?

Oleh: Josua Satria Collins

(Internship Advokat Konstitusi)

Hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Dapat dikatakan, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.

Namun, pernahkah dirimu bertanya mengapa jumlah hakim dalam mengadili suatu perkara harus berjumlah ganjil? Dalam Pasal 11 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditegaskan bahwa dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, susunan majelis hakim harus berjumlah minimal 3 (tiga) orang hakim, kecuali undang-undang menentukan lain.

Contoh undang-undang menentukan lain di sini adalah jumlah hakim dalam pengadilan anak. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak maupun Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, hakim memeriksa dan memutus perkara anak baik dalam tingkat pertama, tingkat banding, maupun tingkat kasasi dengan hakim tunggal.

Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga memiliki aturan yang berbeda terkait minimal jumlah hakim. Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara, dilakukan dalam sidang pleno dengan 9 (sembilan) orang hakim konstitusi. Akan tetapi dalam keadaan luar biasa dapat dilakukan dengan 7 (tujuh) orang hakim konstitusi yang dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi.