Mengenal Parliamentary Threshold dan Presidential Threshold

Threshold: Melanggar HAM?

Keberlakuan threshold di Indonesia tentu menuai pro dan kontra. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya pihak yang mengajukan constitutional review di Mahkamah Konstitusi. Alasan utamanya adalah ketentuan threshold telah bertentangan dengan HAM, terutama hak sipil dan politik warga negara yang secara sistemik dianggap dapat dikebiri dengan diberlakukannya mekanisme threshold, karena akan banyak suara pemilih terbuang melalui mekanisme tersebut. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam putusannya nomor 3/PUU-VII/2019 justru semakin menguatkan keberlakuan threshold, dan menyatakan bahwa penggunaan tersebut ditujukan untuk menyederhanakan partai.

Kerancuan Dalam Penggunaan Presidential Threshold

Secara akademis tidak ada konsep presidential threshold dalam pemilu presiden. Tetapi jika ingin menggunakannya, maka dasar yang digunakan adalah ketentuan pada Pasal 6A ayat (3) dan (4) UUD NRI 1945. Pasal 6A ayat (3) UUD NRI 1945 mengatur, bahwa “Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.” Kemudian Pasal 6A ayat (4) UUD NRI 1945 menyatakan, “Dalam hal tidak ada pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden.”