Menggagas Perubahan UU Tindak Pidana Perdagangan Manusia

Oleh : Trian Marfiansyah

(Internship Advokat Konstitusi)

Majunya peradaban identik dengan kemajuan pola pikir manusia yang mengantarkan kepada kemutakhiran teknologi dan regulasi. Dengan ini, masyarakat diharapkan untuk mempunyai kehidupan yang lebih sejahtera, modern, dan adanya rasa aman. Namun senyatanya, budaya lampau seperti perbudakan masih marak terjadi dan menjadi permasalahan dunia. Salah satu bentuk perbudakan tersebut adalah perdagangan manusia. Seringkali, korban seperti anak-anak, laki-laki, dan perempuan dewasa dieksploitasi untuk melakukan berbagai ‘pekerjaan seks’, seperti prostitusi, bahkan kawin paksa. Hal tersebut menjadi cerminan tersendiri bagi negara dalam menjamin perlindungan korban terhadap perdagangan manusia. 

Disamping berpotensi mendapatkan penyakit menular, hal tersebut dapat memperburuk psikologis korban kedepannya. Dalam perspektif manapun, kejahatan ini sangat menyalahi Hak Asasi Manusia (HAM) setiap individu. Laporan Tahunan tentang perdagangan manusia dari Departemen Luar Negeri Amerika mencatat sedikitnya 25 juta orang menjadi korban kejahatan ini. Sementara di Indonesia, bila mengacu data Kementerian Sosial dari 2016 hingga Juni 2019, terdapat 4.906 korban tindak pidana perdagangan orang. Adapun data lain dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, menyebutkan terdapat 155 kasus tindak pidana perdagangan orang dengan 195 korban perempuan dan anak selama Januari 2019 hingga Juni 2020.