Menggagas Perubahan UU Tindak Pidana Perdagangan Manusia

Selain itu, tidak adanya pengertian mengenai eksploitasi seksual yang terdapat dalam Pasal 1 ayat (8) UU PTPPO, dapat menjustifikasi pembaca bahwa pelacur sebagai bentuk kriminal padahal belum tentu itu merupakan tindak kejahatan perdagangan manusia. Orang-orang tersebut bisa saja memilih sebagai pekerja seks untuk menyambung hidup. Sehingga, hal ini secara tidak langsung menyudutkan perempuan. 

Melibatkan regulasi lain seperti UU Keimigrasian, UU Perlindungan Anak, KUHP, UU Ketenagakerjaan, UU Perlindungan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri memberikan kesulitan bagi para penegak hukum karena harus bersifat koordinatif dalam pemberantasannya. Tercantum dalam Pasal 1 Peraturan Presiden No. 69 Tahun 2008 bahwa terdapat gugus tugas dalam penangannya namun dinilai masih kurang efektif karena kesulitan mendapatkan legitimasi perintah dan praktek lapangan penempatan TKI yang ceroboh tanpa disertai perlindungan gugus tersebut. Padahal, negara selaku pelayan publik sudah seharusnya memprioritaskan revisi regulasi tersebut untuk memberantas dan mencegah kejahatan transnasional tersebut.

Lalu, minimnya pengaturan mekanisme pelaporan yang masih rancu mengakibatkan korban atau saksi menjadi takut melapor kepada pihak berwajib. Dalam hal ini dapat menghilangkan rasa aman dari publik dan memicu distrust masyarakat terhadap pemerintah. Maka, idealnya harus dijelaskannya secara spesifik terkait mekanisme pelaporan dan perlindungan apa saja yang korban peroleh baik secara nasional maupun internasional.