Menilik Aneka Kontroversi Dalam Pasal 162 Revisi UU Minerba

Dalam hal ini, permasalahan yang mendasar dalam penormaan pasal 162 ialah, frasa “merintangi” yang menjadi pemicu pasal karet di dalam undang-undang ini. Mengingat pasal tersebut merupakan delik pidana, maka tentunya pasal tersebut sangat berisiko digunakan untuk menjerat dan mengkriminalisasikan masyarakat yang tidak sejalan dengan kepentingan industri pertambangan. Padahal apabila ditelaah lebih jauh, terdapat kecacatan logika hukum di dalam penormaan pasal tersebut.Hal tersebut ialah, frasa “merintangi” tidak diberi penjelasan yang berguna sebagai parameter penilai sebuah pelanggaran hukum. Bahkan, dalam bab penjelasan yang ada pada kedua undang-undang tersebut, hanya mengatakan “cukup jelas”. Hal ini tentunya menandakan adanya kekaburan norma dalam undang-undang tersebut.

Sehingga, apabila ditelaah dalam kacamata hukum pidana, hal ini tentunya menyalahi asas dasar dalam unsur tindak pidana. Menurut P.A.F. Lamintang (2013:193), syarat suatu perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana ialah adanya syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat subjektif berkenaan dengan unsur batin pelaku, sementara syarat objektif berkenaan dengan keadaan perbuatan itu sendiri. Dalam syarat obejktif ini, terdapat unsur-unsur yang salah satunya ialah adanya sifat melanggar hukum/ wederrechtelijkbeid. Sifat ini haruslah dinyatakan secara tegas perumusannya sebagai suatu kesatuan delik agar tercipta kepastian hukum. Sehingga, apabila sifat melanggar hukum ini tidak diejawantahkan secara jelas, maka implikasinya hakim dapat memberi putusan onslag/pembebasan dari segala tuntutan. Dalam hal ini, frasa “merintangi” sebagai sifat melawan hukum, tidak diejawantahkan dengan jelas, sehingga rumusan delik dalam Pasal 162 Revisi UU Minerba ternyata memiliki kecacatan di dalamnya.