Menimbang Constitutional Complaints Sebagai Wewenang Tambahan Mahkamah Konstitusi

Sejak awal berdirinya, hingga pertengahan tahun 2010, Mahkamah Konstitusi RI ternyata cukup banyak menerima pengajuan permohonan pengujian undang-undang yang secara substansial merupakan constitutional complaint atau terkait permasalahan yang dapat diselesaikan dengan menggunakan mekanisme constitutional question. Namun, seperti yang telah diungkapkan di atas, kewenangan Mahkamah Konstitusi RI ditentukan secara limitatif dalam UUD 1945 tanpa menyebutkan kewenangan constitutional complaint, sehingga banyak dari permohonan tersebut dinyatakan “tidak dapat diterima” (niet ontvankelijk verklaard) dengan alasan Mahkamah Konstitusi tidak berwenang untuk mengadilinya.

 Pada praktiknya di Mahkamah Konstitusi, perkara-perkara tersebut menggunakan pengujian undang-undang sebagai pintu masuk untuk pemeriksaannya. Bahkan, pada tahun 2010 terdapat perkara mengenai Pencabutan Surat Edaran Presidium Kabinet Ampera Nomor SE.06/Pres.Kab/ 6/1967 tanggal 28 Juni 1967 tentang Masalah Cina (Nomor 24/PUU-VIII/2010) diajukan oleh seorang anggota DPR yang secara substansial merupakan constitutional complaint. Perkara tersebut dinyatakan tidak dapat diterima oleh Mahkamah Konstitusi. Dari banyaknya jenis perkara demikian, menunjukkan bahwa hingga delapan tahun Mahkamah Konstitusi dibentuk, perkaraperkara yang mengandung unsur constitutional complaint tetap berdatangan ke Mahkamah Konstitusi. Keadaan tersebut terjadi karena belum ada mekanisme atau jalan lain yang dapat diambil para pencari keadilan atau warga negara yang dilanggar hak konstitusionalnya, sehingga para pemohon menggunakan pintu masuk pengujian undang-undang agar permasahannya dapat diadili Mahkamah Konstitusi.