Menolak Lupa Problematik Usia Minimum Hakim MK Pada Perubahan Ketiga UU MK

Akhirnya kehadiran Pasal 15 ayat (2) huruf d justru menutup hak warga negara yang berusia dibawah 55 tahun untuk menjadi hakim konstitusi, padahal warga negara tersebut berpeluang memenuhi syarat-syarat sebagai hakim konstitusi, yakni memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, serta negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan (Pasal 24 C UUD 1945). Pasal ini juga berpotensi menimbulkan problematik kelembagaan karena pada usia 55 tahun terjadi penurunan kapasitas kerja dan fisik yang lebih besar daripada usia 47 tahun, sehingga dapat menyebabkan lambatnya penyelesaian perkara di MK, menyebabkan kebuntuan hukum (deadlock), dan menghambat pelaksanaan kinerja lembaga MK (Allan:2020).

Menolak Lupa Hal Mengganjal Lain dalam Perubahan Ketiga UU MK

Penerapan ketentuan syarat minimum usia hakim MK tidak bisa dilepaskan juga dari Pasal 87 yang mengatur bahwa Hakim Konstitusi yang sedang menjabat pada saat UU ini diundangkan, dianggap memenuhi syarat untuk melanjutkan tugasnya selama tidak melebihi 15 (lima belas) tahun. Skema ini secara konkret akan menyebabkan masa jabatan Hakim MK begitu panjang, terlebih lagi UU MK baru tidak mengenal periodisasi jabatan MK yang sebelumnya dipilih 5 (lima) tahun sekali. Hal ini secara khusus menyebabkan salah satu hakim, Saldi Isra, bak dipermainkan statusnya dengan perubahan ini karena walaupun belum berusia 55 tahun, beliau akan tetap menjabat sesuai dengan ketentuan Pasal 87 ini.