Menyoal Pasal Penghinaan Presiden Dalam RUU KUHP

Alasan Pemerintah dan DPR memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden karena untuk melindungi harkat dan martabat seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dan tidak menginginkan masyarakat Indonesia menjadi liberal karena kebebasan untuk mengkritik Presiden.

Bila menelaah alasan dari Pemerintah dan DPR, maka alasan tersebut dapat terbantahkan. Alasan Pemerintah dan DPR tidak terlalu kuat untuk memuat kembali Pasal penghinaan terhadap Presiden ke dalam RUU KUHP. 

Misalnya, alasan untuk melindungi harkat dan martabat Presiden.  Sepakat, semua manusia tidak boleh dihina hingga merendahkan harkat dan martabatnya. Tetapi perlu diketahui, dalam struktur ketatanegaraan Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah jabatan politik, bukan individu dan/atau subjek hukum pidana yang dapat merasa terhina. Jikalau pemangku jabatan atau pejabat, yaitu Presiden dan/atau Wakil Presiden merasa terhina, maka pengaturan hukum yang digunakan adalah delik penghinaan pada individunya, yaitu Pasal 310 s.d. Pasal 321 KUHP dan/atau Pasal 27 ayat (3) jo Pasal 45 ayat (1)  UU ITE.

Lebih lanjut, Pasal penghinaan dalam RUU KUHP juga berpotensi multitafsir dan bersifat subjektif karena tidak ada parameter jelas terkait apa itu penghinaan terhadap Presiden, sebab dari itu akan sulit melihat apakah suatu tindakan seseorang termasuk dalam penghinaan atau kritik. Jika nyatanya benar seseorang mengkritik, tetapi dengan adanya Pasal ini bisa saja seseorang tersebut dapat dikategorikan telah menghina. Hal inilah yang kemudian menjadikan Pasal ini rentan untuk disalahgunakan, sebab rumusan norma tidak jelas dan dalam penerapannya berpotensi merugikan hak-hak seseorang dalam menyampaikan pendapat dalam bentuk kritik.