Menyoal Polemik Kudeta Ketua Umum Partai: Perspektif “dipilih secara Demokratis” dalam UU Parpol Pasal 22

Oleh: Egi Purnomo Aji
(Internship Advokat Konstitusi)

Belakangan ini, perpolitikan di Indonesia dihebohkan dengan adanya polemik atas isu pengambilalihan kepemimpinan (kudeta). Tepatnya pada hari Senin tanggal 1 Februari 2021, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku ketua umum Partai Demokrat (PD), langsung memimpin konferensi pers untuk menyampaikan perihal adanya gerakan politik yang mengarah pada upaya kudeta PD secara paksa, yang tentu mengancam kedaulatan dan eksistensi PD (Kompas.com, 02/02/2021).

Ternyata, isu-isu kudeta bukanlah ihwal baru di Indonesia, secara historis pada tanggal 22 Juni 1996 dilaksanakan Kongres Luar Biasa Partai Demokrasi Indonesia (KLB PDI) di Medan yang berhasil menurunkan dan mengganti Ibu Megawati Soekarnoputri sebagai pimpinan PDI. KLB tersebut juga bukan permasalahan internal PDI atau konflik antara kubu Megawati dan kubu Suryadi, tetapi ada campur tangan dan pelibatan pihak eksternal dalam hal ini elemen pemerintah, dengan kata lain “kudeta” (Detik.com, 05/02/2021)

Isu-isu kudeta ini, salah satunya implikasi dari sumirnya (sederhananya) ketentuan pasal dalam undang-undang (UU) yang mengatur partai politik (Parpol). Jelasnya pada Pasal 22 UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Parpol terdapat frasa yang berbunyi “dipilih secara demokratis” hal inilah kemudian yang melatarbelakangi lahirnya sebuah kudeta, sebab di satu sisi, penentuan dan pemilihan ketua partai dipilih secara demokratis, namun di sisi lain, sebagian pihak menganggap bahwa penentuan dan pemilihan tersebut tidak sah atau tidak dipilih secara demokratis. Maka dari itu, frasa tersebut menimbulkan penafsiran yang berbeda-beda. Ketiadaan tafsir harmonis menjadikan frasa tersebut rawan disalahartikan.

Memahami Maksud dipilih secara Demokratis

Bagir Manan mengatakan “Ketika hendak memahami suatu norma, maka tidak dapat didekati hanya dari sekadar bunyi (norma) tetapi harus dari pengertian (asas-asas)”. Hal ini berkaitan dengan frasa “dipilih secara demokratis” yang bersifat sumir, harus dipahami secara holistik dan harmonis.

Sejalan dengan pemahaman Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 18 ayat (4) terkait pemilihan kepala daerah, juga terdapat frasa “dipilih secara demokratis” penjelasan lebih lanjut bahwa frasa tersebut tidak dapat diterjemahkan secara tunggal sebagai pemilihan secara langsung. Pemilihan secara tidak langsung atau perwakilan pun dapat diartikan sebagai pemilihan yang demokratis, sepanjang proses pemilihan yang dilakukan demokratis (Agustina, 2009: 79).

Berdasarkan hal itu, pemahaman secara holistik dan harmonis atas frasa tersebut dapat diejawantahkan tidak hanya melalui aspek bunyi, di mana pemahaman yang berdasarkan aklamasi bahwa suatu undang-undang yang dibuat dinyatakan sah (konstitusional). Akan tetapi lebih kepada pemahaman dari aspek pengertian, di mana pemahaman berdasarkan konvensi (perjanjian) ketatanegaraan dalam rangka memperkuat sendi-sendi konstitusi yang salah satunya sendinya adalah sendi negara.

Sendi negara dimaksudkan adanya suatu prinsip negara hukum (rechtsstaat) yakni “Due process of law”, prinsip ini harus dijadikan pedoman dalam ketatanegaraan. Mardjono Reksodiputro guru besar ilmu hukum Universitas Indonesia, mencoba menerjemahkan due process of law sebagai proses hukum yang fair (adil), yang merupakan lawan dari arbitrary process (proses hukum yang sewenang-wenang). Due Process of law dapat dipahami sebagai suatu jaminan konstitusional yang memastikan adanya proses hukum yang fair yaitu memberikan kesempatan kepada publik untuk mengetahui proses hukum dalam pembentukan kebijakan. Ia adalah jaminan konstitusional yang menegaskan bahwa hukum tidak akan ditegakkan secara tidak rasional “Arbitrary”/tanpa kepastian “Capricious”. Selain itu, due process of law adalah prinsip yang mendalilkan bahwa pemerintah harus menghormati hukum, menghormati hak-hak rakyat sebagaimana termaktub dalam konstitusi, dan melindungi rakyat dari kesewenang-wenangan.

Penerapan prinsip due process of law erat kaitannya dengan isu kudeta ketua umum partai, sebab frasa “dipilih secara demokratis” masih menjadi perdebatan/ persoalan implikasi dari ketiadaan tafsir yang harmonis atas Pasal dari frasa tersebut. Guna menuntaskan persoalan tersebut, prinsip due process of law dalam setiap prosesnya harus menguji bahwa, apakah ketiadaan norma yang detail, pembentuk UU telah menganalisis secara komprehensif ke asas-asas. Sebab, tidak semua pembentukan diatur secara detail dan tegas di dalam UU (norma hanya mengatur secara sumir pembentukan peraturan perundang-undangan), hal ini tentunya senada dengan Pasal 20 UU Nomor 15 tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundangan-undangan.

Adanya frasa yang sumir dilatarbelakangi dari adanya putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yakni konsep open legal policy (kebijakan terbuka) artinya suatu kebijakan mengenai ketentuan dalam pasal tertentu dalam UU yang merupakan kewenangan pembentuk UU, artinya MK membebaskan pembentuk UU untuk menafsir dan menuangkan dalam suatu UU tertentu. Kebebasan yang diberikan UUD 1945 kepada pembentuk UU memiliki dua sisi yang berlawanan. Di satu sisi, memberikan kesempatan yang luas atau fleksibel untuk mengatur negara, namun di sisi yang berlawanan dapat berbahaya jika pembentuk UU bertindak sewenang-wenang dalam menentukan apa dan bagaimana suatu materi akan diatur. Kendati demikian walaupun berbahaya, dalam konteks isu kudeta ketua umum partai implikasi dari pasal yang sumir, sejatinya sangat diperlukan pembentuk UU memberikan suatu batasan yakni suatu tafsir tegas yang bersifat harmonis, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam bertatanegara, hal ini juga untuk disalahartikannya suatu pasal seperti adanya kudeta. 

Hemat penulis, sumirnya frasa “dipilih secara demokratis” dapat dituntaskan melalui implementasi prinsip proses hukum due process of law yakni memahami secara komprehensif aspek pengertian. guna isu kudeta tersebut tidak bergulir kembali. Sejalan dengan konsep open legal policy, maka dari itu sejatinya harus benar-benar diperhatikan dan dipahami secara kafah oleh pembentuk UU dalam membuat suatu beleid. Apakah akan mengimplementasikan sifat fleksibel dalam mengatur negara atau memberikan batasan dengan adanya tafsir tegas yang tentunya bersifat harmonis.