Menyoal Undang-Undang Ratifikasi Perjanjian Internasional

Oleh: Azeem Mahendra

(Internship Advokat Konsitusi)

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 33/PUU-XI/2011 di mana Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN (UU ASEAN Charter) menjadi objek pengujian konstitusional di MK menjadi titik awal pemikiran mengenai proses ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional serta integrasinya ke dalam sistem peraturan perundang- undangan di Indonesia. Permohonan tersebut ditolak oleh MK, akibat secara materil objek- objek yang dimohonkan tidak bertentangan dengan UUD 1945. Hanya saja, dua Hakim Konstitusi saat itu yakni Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati berpendapat bahwa semestinya permohonan tidak dapat diterima karena, secara materi muatan UU tersebut bukan merupakan kewenangan MK untuk mengujinya dan keterikatan perjanjian internasional tersebut hanya pada negara- negara yang menjadi pihak.

Sejak saat itu, muncul diskusi tentang bagaimana negara- negara yang menjadi pihak dalam pengesahan perjanjian internasional seharusnya mengimplementasikan materi muatan yang ada dalam perjanjian tersebut ke level nasional. Pengesahan perjanjian internasional dengan hanya dimuat dalam UU tidak semata- mata dapat menjadikan norma- norma di dalamnya berlaku untuk setiap orang yang ada dalam suatu negara yang menjadi pihak. Oleh karena itu, banyak perjanjian internasional yang memberikan rekomendasi untuk negara-negara yang meratifikasinya membentuk kebijakan turunan atau lanjutan dari perjanjian internasional tersebut (contohnya seperti apa yang diamanatkan pada Artikel 5 (2) ASEAN Charter).