Merancang Gagasan, Menjawab Disharmonisasi Hukum: Adendum

Tuntutan pemenuhan kebutuhan masyarakat dan segala pemangku kepentingan akan akses terhadap produk hukum baik secara filosofis, yuridis, dan sosiologis membutuhkan sebuah metode penunjang yang baik dan benar agar mampu menjawab persoalan tersebut. Digitalisasi adalah kunci, namun bukan satu-satunya. Ada beberapa hal lain yang harus diterapkan bersamaan dengan digitalisasi tersebut: Pemuatan Undang-Undang secara adendum antara hukum yang lama dengan yang terbaru. Adendum disini dapat diartikan sebagai perubahan suatu undang-undang dengan penambahan, perubahan, dan/atau penghapusan pasal yang`dibuat secara tertulis yang secara fisik terpisah dari undang-undang sebelumnya ,namun secara hukum melekat pada perundang-undang sebelumnya.

Pertanyaannya mengapa perlu dilakukan? Hal itu tidak lain dan tidak bukan adalah untuk memudahkan upaya sinkronisasi antara peraturan satu dengan yang lainnya. Dalam konteks lain, sebuah undang-undang yang berlaku di tingkat nasional memiliki derivasi di tingkat daerah. Namun ketika undang-undang tersebut berubah, baik karena diubah dengan sengaja dan/atau dinyatakan tidak mengikat oleh Mahkamah Konstitusi, peraturan daerah di bawahnya tidak ikut diubah sesegera mungkin sehingga menjadi disharmoni. Tidak mengherankan jika pada tahun 2016, Kementerian Dalam Negeri mengumumkan 3.143 Peraturan Daerah (Perda) yang dibatalkan. Hal itu tidak hanya berlaku bagi peraturan daerah, namun banyak peraturan lainnya, termasuk perjanjian antar individu. Dengan adanya metode adendum yang diterapkan bersamaan dengan digitalisasi jaringan dokumentasi dan informasi hukum tersebut, maka diharapkan dapat terjadi sinkronisasi hukum secara nasional.