MEREKONSTRUKSI PARADIGMA PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG PASCA PUTUSAN MK NO. 79/PUU-XVII/2019

Terhadap pelanggaran ini, Mahkamah hanya mengingatkan pembentuk undang-undang agar tidak tergesa-gesa dan taat pada asas pembentukan undang-undang dan materi muatan undang-undang, sebab asas adalah titik tolak, tolok ukur dan kendali untuk menjaga materi dan substansi dalam koridor konstitusi. Meski demikian pengujian formil UU MA tidak dikabulkan oleh MK, karena memperhatikan asas manfaat untuk tercapainya tujuan hukum, sehingga Mahkamah tidak perlu menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dalam pengujian formil perubahan kedua UU KPK, banyak ahli hukum tata negara yang mempertanyakan bagaimana MK menggunakan paradigma pengujian formil dalam setiap pertimbangan hukumnya. Bahkan Prof. Susi Dwi Harijanti dalam suatu diskusi publik menyebut bahwa MK telah mematikan keadilan prosedural yang seharusnya diwujudkan dalam pengujian formil ini. Lantas, paradigma seperti apa yang seharusnya digunakan MK dalam memutus perkara pengujian formil? hal inilah yang akan dikaji dalam tulisan ini sebagai berikut.

Menurut Sri Soemantri, pengujian terhadap suatu peraturan perundang-undangan dilakukan terhadap isi undang-undang atau peraturan perundang-undangan lainnya dinamakan sebagai hak menguji material (materiele toetsingsrecht). Sementara jika pengujian itu dilakukan terhadap prosedur pembentukannya, maka disebut hak menguji formal (formele toetsingsrecht). Menegaskan pengertian mengenai pengujian formal, Jimly Asshiddiqie menyatakan bahwa secara umum ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk menilai konstitusionalitas suatu undang-undang dari segi formalnya (formele toetsing) antara lain adalah sejauh mana undang-undang itu ditetapkan dalam bentuk yang tepat (appropriate form), oleh instansi yang tepat (appropriate institution), dan menurut prosedur yang tepat (appropriate procedure).