MEREKONSTRUKSI PARADIGMA PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG PASCA PUTUSAN MK NO. 79/PUU-XVII/2019

Diskursus yang selalu didiskusikan dalam pengujian formal dalam konsep pengujian undang-undang di MK adalah batu uji apa yang dapat digunakan oleh MK dalam pengujian formal? apabila wewenang pengujian formal bersifat inheren atau melekat pada hakim, pertanyaannya akan kembali pada batu uji apa yang akan digunakan oleh hakim? batu uji inilah yang menurut penulis akan dijadikan paradigma oleh sembilan Hakim MK dalam memutus perkara pengujian formil perubahan kedua UU KPK.

Landasan Yuridis Formal Batu Uji Pengujian Formil

Pengujian formil memiliki landasan yuridis formal antara lain dalam ketentuan Pasal 51A ayat (3) UU No. 8 Tahun 2011 yang mengatur bahwa “Dalam hal permohonan pengujian berupa permohonan pengujian formil, pemeriksaan dan putusan yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi didasarkan pada peraturan perundang-undangan yang mengatur tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan”.

Sementara dalam Putusan MK Nomor 27/PUU-VII/2009, MK memberikan pandangan terhadap batu uji pengujian formal yaitu bahwa menurut Mahkamah jika tolok ukur pengujian formil harus selalu berdasarkan pasal-pasal UUD 1945 saja, maka hampir dapat dipastikan tidak akan pernah ada pengujian formil karena UUD 1945 hanya memuat hal-hal prinsip dan tidak mengatur secara jelas aspek formil-proseduralnya. Padahal dari logika tertib tata hukum sesuai dengan konstitusi, pengujian secara formil itu harus dapat dilakukan. Oleh sebab itu, sepanjang undang-undang, tata tertib produk lembaga negara, dan peraturan perundang-undangan yang mengatur mekanisme atau formil prosedural itu mengalir dari delegasi kewenangan menurut konstitusi, maka peraturan perundang-undangan itu dapat dipergunakan atau dipertimbangkan sebagai tolok ukur atau batu uji dalam pengujian formil.