MEREKONSTRUKSI PARADIGMA PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG PASCA PUTUSAN MK NO. 79/PUU-XVII/2019

Pendapat dari Prof. Susi sangat bersesuaian dengan apa yang ditekankan Prof. Bagir Manan dalam keterangan ahlinya di pengujan formil perkara a quo. Beliau menegaskan pengujian formil yang berfungsi untuk menyelidiki apakah suatu produk legislatif ditetapkan menurut tata cara yang ditentukan oleh peraturan perundang-undangan (undang-undang) yang mana dalam prinsip negara hukum demokratis, pengertian tata cara baik sebagai prosedur harus pula bersandar pada asas-asas hukum yang fundamental dan berbagai praktik etika ketatanegaraan menurut prinsip-prinsip demokrasi dan negara hukum.

Hal yang kemudian menjadi fundamental dalam keterangan ahli Prof. Bagir Manan adalah bagaimana beliau menguraikan bahwa apabila seluruh tata cara pembentukan perubahan kedua UU KPK telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dimanakah kemungkinan terjadi tata cara pembentukan yang salah dan bertentangan dalam UUD 1945? disinilah beliau kembali mengingatkan bahwa dalam UUD 1945, para founding of the constitution juga memberikan muatan “staatside” yang menjiwai dan mendasari UUD 1945.

Staatside ini berlandaskan kearifan asli seperti paham kekeluargaan/gotong royong, paham permusyawaratan, paham demokrasi atau kedaulatan rakyat, politik, dan sosial, paham negara hukum (formal dan materiil) serta paham hak asasi (individual dan sosial). Dalam konteks permohonan pengujian formal perubahan kedua UU KPK, staatsidee inilah yang wajib menjadi perhatian MK dalam memutus perkara. Keadilan prosedural yang ditekankan dalam pengujian formil sangat terkait dengan bagaimana MK mampu menilai asas-asas hukum dan staatside dalam pengujian formil perubahan kedua UU KPK.