MEREKONSTRUKSI PARADIGMA PENGUJIAN FORMIL UNDANG-UNDANG PASCA PUTUSAN MK NO. 79/PUU-XVII/2019

Dalam perkara a quo, hal-hal terkait kewenangan pengujian formil oleh MK memang tidak menjadi masalah, karena pada intinya MK menyatakan berwenang untuk memutus perkara a quo. Namun hal yang selanjutnya dicermati adalah sejauh mana MK dalam pendapat hukumnya menggunakan paradigma batu uji dalam pengujian formil, apakah MK hanya mempertimbangkan landasan yuridis formal? atau juga mempertimbangkan landasan konseptual agar benar-benar mempertimbangkan asas-asas hukum atau staatsidee yang terkandung di dalam UUD 1945 yang benar-benar dapat mencerminkan keadilan prosedural.

Kesimpulan

Setelah mencermati setiap pendapat hukum Mahkamah dalam perkara a quo, dapat disimpulkan bahwa MK sangat kentara menggunakan paradigma yuridis formal dalam tiap pendapat hukumnya. MK terkesan hanya menilai/mereview permohonan para Pemohon dari luarnya saja. MK terjebak problematik legisme yang mana MK terlalu terpaku dengan hukum yang tertulis, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai esensial baik itu yang disebut dengan staatsidee atau natural justice seperti legal efficacy dan rational acceptability dalam proses pembentukan perubahan kedua UU KPK.