MINIMNYA REGULASI BAGI WARTAWAN KORBAN KEKERASAN FISIK DALAM MELAKSANAKAN TUGAS PROFESI

Menilik kasus pengeroyokan wartawan wanita yang terjadi di Paser TV Kalimantan Timur, pengeroyokan tersebut dilakukan oleh Kepala Desa Rantau Panjang Alias dan sekretaris desa Padang Pangrapat. Akibat dari pengeroyokan itu, wartawati tersebut terganggu fungsi janinnya dan kehilangan perangkat kerja berupa kamera dan audio yang dirampas para pengeroyok. Kasus ini telah dibawa ke pihak berwajib tetapi minim tanggapan. Setelah kasus ini viral, barulah pihak kepolisian menindaklanjuti kasus ini. Kaum wartawan menganggap bahwa kasus penganiayaan yang dialami para wartawan tidak ditangani secara tuntas sebelum viral ke dunia digital. Terkadang terdapat kasus yang telah dilaporkan kepada pihak yang berwajib tidak ditangani bahkan dibiarkan berlarut-larut dan membuat para wartawan merasa tidak dilindungi haknya oleh Negara selaku warga Negara Indonesia.

Regulasi yang saat ini digunakan guna menangani kasus para wartawan ini adalah Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers (UU Pers). Pasal 8 UU Pers secara eksplisit menyatakan, bahwa dalam menjalankan tugasnya wartawan memperoleh perlindungan hukum. Namun perlindungan hukum yang dimaksud tak jelas implementasinya dalam kehidupan dan menangani kasus kekerasan terhadap wartawan. Perlindungan hukum yang bersifat represif membuat para pelaku kekerasan pada wartawan tidak menjaga sikapnya dalam menghadapi kondisi yang kurang berkenan dan menjurus ke bagian hukum pidana untuk kemudian diberi hukuman bagi pelaku tindakan kekerasan pada wartawan. Namun, tidak ada produk hukum yang secara sah dan spesifik memfasilitasi jaminan keselamatan terhadap wartawan dalam maknanya yang preventif guna mencegah maupun meminimalisir terjadinya kekerasan atau dampak kekerasan kepada wartawan.