Sangat jelas, penggambaran perbedaan status sosial pada film tersebut. Dari perbedaan tersebut, penerapan asas equality before the law tidak diterapkan dengan baik, hal itu terlihat dari adanya ancaman yang ditujukan kepada dodo ketika rekonstruksi dan pada saat pengajuan banding. Sehingga, Dodo mendapat tekanan dari berbagai pihak yang mengancamnya. 

Aspek kelemahan mental Dodo juga memegang peranan penting dalam alur cerita. Kita bisa melihat jelas, betapa sulitnya seorang difabel untuk berargumen, melakukan pembelaan diri atau bahkan mengartikulasikan isi kepalanya, apabila tidak dibantu dengan seseorang yang ahli dibidangnya. Sudah seharusnya dalam rekonstruksi seorang difabel didampingi oleh seorang ahli yang dapat memahami dan membantunya untuk berargumen hal itu bertujuan agar proses rekonstruksi dapat berjalan dengan baik dan tidak bias. Seseorang yang memiliki kelemahan mental atau seorang difabel hendaknya diperlakukan yang berbeda, guna terciptanya keadilan yang ideal.

Sudah seharusnya, terdapat upaya pemenuhan Hak Asasi Manusia terhadap pemeriksaan tersangka penyandang disabilitas oleh pihak Kepolisian jika tersangkanya penyandang disabilitas tunanetra, maka polisi menawarkan didampingi penasehat hukum dan mempersilahkan memilih sendiri penasehat hukumnya, jika penyandang disabilitasnya tunawicara dan tunarungu, maka disediakan juru bahasa dan jika tersangkanya penyandang disabilitas tuna daksa, maka pihak kepolisian menyediakan pendamping khusus, adapun upaya lain pihak kepolisian terlebih dahulu melakukan mediasi terhadap korban dan tersangka, Upaya ini sebagai wujud penerapan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 tahun 2011 tentang konvensi mengenai hak-hak penyandang disabilitas.