Paradigma Legisprudence : Jalan Keluar Pergumulan Paradigma Hukum dengan Politik dalam Proses Legislasi

Hal ini bagi penulis penting untuk dilakukan kritik terhadap paradigma lembaga legislatif dalam penyusunan undang-undang. Konstruksi hukum atau Undang-Undang penempatan posisi rakyat sebagai pemegang peran (role occupat) dan dilacak (trace) secara paradigmatik, apakah perangkat hukum dan Undang-Undang tersebut telah mempergunakan paradigma kontrol, sosial, paradigma nilai, paradigma institusi atau atau paradigma ideology (Artidjo, 1999:335-3360.

Dalam tataran teknis penerapan paradigma hukum progresif ini misalnya dapat dilakukan dengan menerapkan beberapa mekanisme teknis. Mekanisme teknis ini ditujukan untuk menciptakan produk hukum yang berkualitas dan partisipatif. Pembangunan hukum dalam perspektif ini dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan legisprudence. Basis pendekatan ini adalah ilmu hukum tidak hanya sebatas ilmu soal aplikasi peradilan atas perundang-undangan atau legal science is not a science of the judicial application of rules (Wintgens, 2006:2), jauh daripada itu bahwa teori hukum bukan hanya penerapan aturan melainkan juga pembentukan aturan.

Dalam kacamata Legisprudence kritis, perundang‐undangan di bawah doktrin‐ doktrin yang menjebak pada pola berfikir hukum sebagai sesuatu yang sakral, dimitoskan serta menjadi simbol instrumental represif, akan melahirkan pola‐ pola yang cenderung mengarah pada otoritarianisme politik‐ekonomi yang difasilitasi melalui proses transaksi politik legislasi. Hasil dari proses transaksi politik yang demikian akan memudahkan memetakan bahwa perundangan hasil proses persilatan lidah politisi di parlemen membuka jalan bagi berlangsungnya fasisme berbentuk teks‐teks tertulis dan berlaku bagi rakyat untuk mentaatinya. Fasisme perundangan inilah yang akan terjadi bila kita tidak rajin‐rajin mengkritisi doktrin‐doktrin di balik teori‐teori legislasi yang bersandar pada pemikiran rule of law (Herlambang, 2005:15).