Pemberlakuan Ketentuan Pajak Ekspor dan Impor Di Tengah Fenomena Jasa Titip Barang Luar Negeri

Direktur Jenderal Bea dan Cukai Bapak Askolani berpendapat ramainya usaha jastip yang tidak membayar bea masuk dan pajak dinilai tidak adil bagi para pengusaha lain yang memasukkan barang secara legal. Kegiatan jastip ini sama dengan tidak taat aturan negara karena sudah seharusnya setiap penumpang pesawat yang membawa barang lebih dari US$ 500 dolar harus membayar pajak barang tersebut. Hal ini juga sebagai penegakan keadilan bagi penjual barang serupa yang mengimpor barang secara ilegal. Namun, segelintir masyarakat menganggap bahwa adanya pajak bagi barang jastip merupakan suatu pungutan akal-akalan pemerintah yang ingin untung dari hasil kerja rakyatnya. Pemerintah dianggap seperti preman yang selalu meminta pendapatan dari pemerasan kelompok atau masyarakat lain. Masyarakat yang kontra ini juga memberikan tambahan argumen bahwa adanya jastip barang dari luar negeri adalah suatu PR negara karena barang yang biasa dijual di negara ini terbilang sangat mahal dibandingkan dengan harga jastip.

Hingga saat ini pemerintah belum mengatur secara resmi mengenai usaha jasa titipan (jastip) yang sekarang sudah menjamur di Indonesia. Jastip biasanya dimanfaatkan oleh masyarakat yang bepergian ke luar negeri. Dengan bepergian ke luar negeri, maka masyarakat bisa membuka jasa pembelian barang-barang yang ada di negara tujuan dan biasanya calon pembeli akan dikenakan tambahan biaya dari harga barang yang dititipkan. Belakangan ini, usaha jastip sering disalahgunakan oleh sebagian masyarakat khususnya dalam membayarkan kewajiban perpajakannya. Akan tetapi, Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) Ignatius Untung mengatakan bahwa usaha jastip tetap bisa dijalankan selama membayarkan kewajiban perpajakan.