Penataan Ulang Fungsi Legislasi di Indonesia

Namun, dengan hadirnya perubahan Pasal 20 ayat (2) dan Pasal 20 ayat (3) UUD 1945 yang menegaskan setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama tidak berarti DPR lebih kuat dari Presiden dalam fungsi legislasi. Dengan diadopsinya “persetujuan bersama” maka fungsi legislasi di Indonesia dalam sistem presidensial mengakibatkan adanya “ultimate authority” yang seharusnya hanya dimiliki oleh Legislatif (DPR dan DPD). Maka sejatinya dalam desain sistem pemerintahan presidensial penglibatan presiden yang jauh dalam pembentukan UU berpotensi menambah ketegangan eksekutif dan legislatif. Terlebih frasa pembahasan dan persetujuan bersama merupakan model legislasi yang lazimnya dipraktikkan dalam sistem parlementer (Saldi, 2018:16).

Lebih lanjut, dengan adanya frasa “dibahas bersama” dan “persetujuan bersama” menegaskan fungsi legislasi setelah perubahan UUD 1945 tidak memisahkan secara jelas antara cabang eksekutif dan legislatif. Polemik semakin komplit manakala kehadiran DPD sebagai salah satu lembaga legislatif tidak memiliki kedudukan yang seimbang seperti halnya DPR. Munculnya Pasal 22 D ayat (1) dan (2) UUD 1945 perubahan menegaskan fungsi legislasi DPD dalam mengajukan RUU kepada DPR dan membahas RUU tentang kedaerahan. Namun, ironi manakala dalam konstitusi pula pada Pasal 20 A ayat (1) UUD 1945 menyatakan fungsi legislasi hanya dimiliki oleh DPR.