Pengaturan Kekerasan Seksual Berbasis Elektronik dalam UU TPKS

oleh : Rean Anggreny

(Internship Advokat Konstitusi)

Rancangan Undang-undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) akhirnya resmi disahkan menjadi undang-undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada hari Selasa, 12 April 2022. Pengesahan UU TPKS dilakukan saat Rapat Paripurna DPR RI ke-19 Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2021-2022. Sejak pertama kali diinisiasi oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) pada tahun 2012 dengan nomenklatur Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual telah terdapat berbagai kelompok masyarakat sipil yang mendorong agar rancangan undang-undang tersebut segera disahkan.

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) mencoba untuk memberikan perlindungan menyeluruh kepada para pihak yang berpotensi untuk menjadi korban kekerasan seksual. Ada sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yang diatur dalam undang-undang a quo, yaitu pelecehan seksual nonfisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual, perbudakan seksual dan kekerasan seksual berbasis elektronik.

Selain sembilan bentuk perbuatan yang telah dijelaskan sebelumnya, juga terdapat beberapa perbuatan lainnya yang masuk dalam kategori tindak pidana kekerasan pada UU TPKS. Pasal 4 ayat (2) undang-undang a quo mengkategorikan perbuatan cabul, pemaksaan pelacuran, hingga eksploitasi seksual termasuk dalam kategori tindak pidana kekerasan seksual. Pengaturan yang terdapat dalam pasal ini lebih mencoba untuk memperjelas perbuatan yang dapat dipidana menggunakan ketentuan hukum yang terdapat dalam undang-undang.