Pengejawantahan Penegakan Hukum Lembaga Kejaksaan: Reposisi Kedudukan Kejaksaan Secara Konstitusional sebagai Main State Organ

Intervensi dalam tubuh kejaksaan menjadi menghambat independensi sehingga menghambat profesionalisme jaksa dalam mengatasi sebuah perkara guna law enforcement dalam kekuasaan peradilan. Padahal, kejaksaan sebagai “Dominus litis” (pengendali proses perkara) mempunyai kedudukan sentral dan strategis dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah sebagaimana menurut Kitab Hukum Acara Pidana.

Profesionalisme Jaksa diuji ketika terdapat masalah independensi dalam lembaga kejaksaan. Padahal, profesionalisme Jaksa sangat penting untuk menunjukkan keberhasilan lembaga kejaksaan. Individu kejaksaan sebagai central of authority dan kedudukan kejaksaan sebagai main state organ perlu untuk diejawantahkan sesuai kewenangan konstitusionalnya, sehingga kedudukannya dapat merefleksikan urgensitas tugas dan fungsi yang dimilikinya dengan sebenar-benarnya, yang kemudian dapat terlaksana di masyarakat. Karena ditangan aparat hukum itulah, hukum itu hidup dan berkembang. Maka profesionalisme aparat penegak hukum tercermin pada citra positif seorang penegak hukum di masyarakat.

Menurut Harkristuti, Kejaksaan sebagai alat penegak hukum harus dirumuskan kembali dengan tegas dalam UUD NRI 1945 guna independensi Kejaksaan. Sejalan dengan hal tersebut, dalam konteks sistem ketatanegaraan, idealnya kedudukan dan fungsi Kejaksaan RI memang harus diatur secara tegas dalam UUD atau konstitusi. Seperti halnya yang telah dilakukan oleh sebagian besar negara-negara civil law seperti Portugal dan Macau, yang telah mengatur secara tegas dan jelas mengenai peran dan legal standing lembaga kejaksaan.