Pengekangan Kebebasan Akademik di Perguruan Tinggi Mencederai Marwah Demokrasi

Pada faktanya telah tercatat beberapa peristiwa kelam yang menunjukkan bahwa negara masih belum menunjukkan keberpihakannya kepada kaum intelektual. Peristiwa diskusi yang diselenggarakan oleh LPM Teropong Politeknik Elektronika Negeri Surabaya yang bertajuk “Framing Media & Hoaks: Papua dalam Perspektif Media Arus” dibubarkan oleh Polsek Sukolilo dan keamanan kampus (Madia, 2019).

Peristiwa serupa juga menimpa Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada yang tergabung dalam Constitutional Law Society (CLS) FH UGM. Organisasi tersebut mengadakan diskusi dengan topik “Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden ditinjau Dari Sistem Ketatanegaraan” dengan mengundang narasumber Prof. Dr. Ni’matul Huda. Sebelum diskusi berlangsung beberapa panitia diskusi serta narasumber mendapat ancaman pemanggilan oleh kepolisian, ancaman pasal makar hingga ancaman pembunuhan. Demi alasan keamanan panitia dan narasumber, diskusi virtual tersebut akhirnya dibatalkan. Kedua kasus diatas menunjukkan bahwa berkaitan dengan kebebasan akademik yang menjadi bagian dalam lingkup hak asasi manusia (HAM) belum terpenuhi.

Meskipun Indonesia telah memasukan substansi hak sipil dalam UUD NRI 1945 peristiwa pengkerdilan terhadap kebebasan sipil masih banyak terjadi di era reformasi.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Freedom House, meski sempat mencapai status kebebasan publik penuh pada 2005-2012, tren kebebasan di Indonesia justru mengalami kemunduran sejak 2013 dan belum menunjukkan tanda-tanda membaik. Hal ini membuktikan bahwa adanya pergeseran suatu era tidak menjamin penegakan hak asasi manusia. Kemunduran Indonesia dalam menjamin hak asasi manusia terutama dalam rumpun hak sipil telah memudarkan esensi dasar dari demokrasi itu sendiri. Pemaknaan demokrasi memiliki korelasi dengan kebebasan, R. William Liddle mengungkapkan bahwa demokrasi ini dengan sendirinya memerlukan liberal (kebebasan) dalam pengertian hak-hak sipil; kalau hak-hak ini tidak ada maka tidak ada demokrasi (Basyaib, 2006)