Persoalan Hyper Regulation di Indonesia

Penyebab Hyper Regulations
Pada dasarnya terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi banyaknya pembentukan regulasi di Indonesia. Pertama, adanya kecenderungan dalam perkembangan pembentukan perundang-undangan yang menganggap bahwa pembentukan regulasi seolah-olah menjadi obat yang paling ampuh untuk mengatasi berbagai persoalan yang ada, sehingga semakin banyak persoalan yang ingin diatur dan berakibat pada banyaknya peraturan perundang-undangan yang juga akan dibentuk. Kedua, kuantitas UU dianggap sebagai indikator kesuksesan kinerja lembaga legislatif (DPR) dalam menjalankan fungsi legislasinya. Ketiga, adanya sistem kepartaian yang majemuk berpengaruh pada banyaknya kepentingan yang ingin diakomodir, sehingga akan menyebabkan semakin banyak pula aturan yang akan dibentuk.(ipc.or.id: 2019)
Menurut Prof. Saldi Isra, persoalan regulasi terletak pada peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu peraturan pemerintah (PP) dan peraturan presiden (perpres) yang menyebabkan hyper regulations. Sebagaimana ketentuan Pasal 12 dan 13 UU No. 12 Tahun 2011 (UUP3), menegaskan bahwa materi muatan peraturan pemerintah berisi materi untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya dan materi muatan perpres berisi materi yang diperintahkan oleh undang-undang, materi untuk melaksanakan peraturan pemerintah, atau materi untuk melaksanakan penyelenggaraan kekuasaan pemerintahan. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka penyelenggaraan pemerintahan akan bertumpu pada PP dan Perpres, sehingga konstruksi yang demikian ini berpotensi mendudukkan kedua jenis peraturan tersebut lebih berposisi sebagai maksud UU yang sesungguhnya (regulation intent) ketika UU belum (sepenuhnya) menjelaskan maksud pembentukan hukum (legal intent). Oleh karena itu, penyusunan PP dan perpres harus terencana dan tidak bersifat reaktif.(Saldi Isra: 2017)
Sedangkan Prof. Maria Farida Indrati mengemukakan sebaliknya, bahwa saat ini banyak materi muatan yang seharusnya cukup diatur lewat peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang justru dipaksakan diatur dengan undang-undang. Padahal seandainya diatur dengan peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, pelaksanaannya menjadi lebih sederhana dan anggaran yang dibutuhkan relatif kecil. (pshk.or.id: 2016)