Pertanggungjawaban Pidana Terhadap Pelaku Penyebaran Berita Bohong di Media Sosial

Dewasa ini, perkembangan teknologi dan informasi kian pesat. Penggunaan teknologi informasi dan komunikasi ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi menyajikan kemudahan dan memberikan dampak positif di bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain sebagainya namun di sisi lain juga melahirkan kejahatan baru. Sebut saja  penyebaran berita bohong atau biasa dikenal dengan istilah hoaks. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hoaks atau berita bohong mengacu pada informasi yang tidak benar. Modus yang biasa digunakan oleh pelaku adalah menyebarkan berita bohong dan menyuarakan ujaran kebencian (hate speech).  

Menurut data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), hingga bulan April 2021 terdapat  1.556 hoaks terkait Covid-19 serta 177 hoaks terkait vaksin Covid-19. Sedangkan total jumlah hoaks dari bulan Agustus 2018 hingga awal tahun 2022 sebanyak 9.546 kasus. Terlebih di situasi saat ini, Pandemi Covid-19 tidak hanya meningkatkan kasus kematian, namun penyebaran berita hoaks juga terus mengalami peningkatan. Padahal penyebaran berita bohong atau hoaks ini merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan hukum. Hal tersebut tertuang dalam beberapa aturan hukum seperti dalam Pasal 390 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Undang-Undang  No 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) sebagai payung hukum dalam mengatur perkembangan dan pengelolaan teknologi elektronik.