Sejatinya bentuk dari pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku penyebaran berita bohong dapat berupa pidana penjara dan denda. Pidana penjara diberlakukan selain untuk membuat efek jera bagi pelaku berupa tindakan asertif juga memberikan peringatan dan efek menakut-nakuti kepada masyarakat agar tidak melakukan hal yang serupa. Sementara itu, denda diberikan agar mengurangi beban keuangan negara dan sosial ketika pelaku harus dimasukkan ke penjara. Namun terlepas dari itu semua, seperti pepatah lama “lebih baik mencegah daripada mengobati” maka dampak dari penyebaran berita bohong sebenarnya dapat diminimalisir dengan cara-cara persuasif. Dimulai dari masyarakat itu sendiri dengan menerapkan literasi digital artinya sebelum menerima informasi, masyarakat diharuskan untuk membaca, meneliti dengan cermat dan memeriksa apakah informasi yang disajikan benar. Masyarakat tidak boleh menerima informasi secara mentah-mentah, tetapi harus disaring sebelum di-sharing.
Tidak hanya itu, pemerintah perlu turun tangan dalam memutus mata rantai penyebaran berita bohong ini dengan mengawasi setiap konten yang diterbitkan di media sosial. Apabila ditemukan informasi yang menyimpang maka harus segera ditindak. Mengingat banyaknya dampak negatif yang dirasakan ketika hoaks merajalela. Seperti terganggunya stabilitas politik, keamanan, perekonomian bahkan yang paling berbahaya mengancam persatuan dan kesatuan Negara Republik Indonesia. Pemerintah dituntut harus memiliki strategi khusus dalam memberantas penyebaran berita bohong. Salah satunya melalui penguatan regulasi dengan merevisi pasal-pasal karet dalam undang-undang ITE agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dan memiliki kejelasan dalam pengaplikasiannya. Oleh Karena itu, perlu sinergi dan kerja sama dari semua pihak sebagai bentuk upaya pencegahan dan pemberantasan penyebaran berita bohong di Indonesia.