PILEG TERTUTUP: PARPOL SEPERTI YAYASAN PENYALUR ART

Hemat anggaran disinyalir menjadi alasan mengapa kita harus mendukung pengembalian sistem proporsional tertutup tersebut, baik efisiensi biaya kampanye caleg, maupun efisiensi biaya penyelenggaraan. Kita memang tidak dapat memungkiri, pasca menggunakan sistem proporsional terbuka, berbagai upaya money politic penghambat demokrasi yang sehat pun bermunculan, mulai dari bagi-bagi sembako, perbaikan infrastruktur tertentu, hingga “serangan fajar”. Belum lagi resiko yang lebih besar, yaitu sponsor-sponsor politik yang ada di belakang layar caleg guna  sehingga menurut Amir Hamzah dalam Dasar Hukum Pidana, menyebutkan bahwa hal ini dapat memengaruhi jalannya pemerintahan yang korup dan pesanan-pesanan regulasi bagi kelompok tertentu.

Namun jika kita kaji dari sisi teknisnya, yang mana dalam pemilu proporsional tertutup membuat rakyat hanya dapat memilih partai, dan partailah yang memilih anggota legislatifnya, artinya “bola” berada di tangan partai politik. Hal inilah yang menurut Afiq Faqih dalam tulisan berjudul “Urgensi Sistem Proporsional Tertutup Untuk Pencegahan Praktik Money Politics Pada Pemilihan Tertutup” menyampaikan kekhawatirannya pada oligarki yang akan tercipta ketika ketentuan ini berjalan. Hal yang sama turut ditanggapi oleh Airlangga Pribadi, pengamat politik Universitas Airlangga, baginya ketika partai politik yang memiliki kewenangan mengatur pihak yang dapat masuk dalam parlemen, adanya indikasi penyimpangan dalam bentuk transaksi  atau menjual kursi dengan nominal tertentu. Dengan kata lain, partai politik justru menjadi turun pangkat seperti sebuah yayasan penyalur Asisten Rumah Tangga (ART) yang mana mengharuskan pembayaran sejumlah uang tertentu untuk disalurkan atau ditempatkan.