Polemik Pengadaan Jasa ‘Influencer’

Oleh: Haikal Fikri

(Internship Advokat Konstitusi)

Seiring berkembangnya teknologi dan informasi dalam era digital, jasa Influencer dalam mempromosikan sesuatu semakin dinikmati oleh banyak kalangan. Influencer dinilai memiliki pengaruh dalam memberikan pandangan maupun pendapat kepada followersnya. Hal inilah yang mendorong pemerintah untuk menggunakan jasa Influencer untuk melakukan sosialisasi program-program yang ditetapkan oleh pemerintah. Peneliti ICW Egi Primayogha, menyebutkan bahwa pemerintah menggelontorkan dana sejumlah 90,45 Miliar dalam dengan rincian Kementerian Pariwisata menjadi lembaga negara terbanyak yang melakukan belanja jasa Influencer dengan 22 paket pengadaan. Di posisi berikutnya, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan 12 paket pengadaan, serta diikuti oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika dengan empat pengadaan. 

Anggaran yang digalakkan pemerintah untuk Influencer justru mendatangkan kritikan terkait keberadaan hubungan masyarakat (humas) dan Juru Bicara. Penggunaan Influencer dinilai menghilangkan fungsi humas dan juru bicara yang bertugas sebagai ujung tombak penyampaian informasi terkait program pemerintah kepada masyarakat  dan media massa. Tentu saja hal ini merupakan suatu hal yang mubazir mengingat saat ini sedang berada di situasi pandemi Corona Virus Disease-19 (COVID-19). Anehnya Pemerintah seakan enggan untuk mengakui bahwa pihaknya lah yang menggunakan dan/atau menyetujui anggaran keuangan untuk jasa Influencer. Yustinus Prastowo (Staff Khusus Menteri Keuangan) mengatakan bahwa pemerintah tidak menganggarkan  dana  jasa Influencer secara spesifik di Anggaran Pendapatan Belanja Negara, Yustinus menambahkan bahwa Istilah yang digunakan pemerintah dalam APBN hanyalah Key Opinion Leader.