Polemik Sistem Presidential Treshold yang tak kunjung usai

Peraturan  lain yang mengatur mengenai presidential threshold tertuang dalam pasal 222 UU No 7 tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum disebutkan bahwa “Pasangan calon Pemilihan umum diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25 persen dari suara sah nasional dalam pemilu anggota DPR sebelumnya.” Secara sederahana bisa kita simpulkan bahwa partai politik harus mendapatkan 20%  kursi DPR atau 25% suara sah nasional agar bisa mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dalam pemihan presiden yang patokannya adalah  merujuk pada hasil pemilihan legislatif periode sebelumnya, yakni pemilu 2019. Jika partai politik tidak mampu memenuhi persyaratan tersebut, partai politik dapat berkoalisi atau bergabung dengan partai politik lain untuk mengusungkan calon presiden dan wakil presiden. 

Berbagai upaya telah dilakukan agar ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden dihilangkan. Salah satunya dengan melakukan uji materi pasal 222 yang terdapat dalam UU No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi. Namun hasilnya nihil. Mahkamah konstitusi tidak mengabulkan permohonan untuk uji materi dalam pasal tersebut. Dengan demikian  hingga saat ini Indonesia masih menerapkan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Setidaknya sudah beberapa kali muncul wacana untuk menghapus presidential threshold ini. Lalu apakah dengan menghapus ambang batas pencalonan presiden akan membuat pertumbuhan demokrasi di Indonesia akan semakin maju atau sebaliknya malah semakin mundur?