Polisi Virtual : Perlindungan atau Ancaman Kebebasan Berpendapat

Urgensi adanya polisi virtual merupakan wujud dari pelaksanaan Pasal 28J UUD 1945. Di sisi lain, pasal ini memiliki kesamaan konteks pembatasan dalam hak kebebasan berekspresi dan berpendapat yang terdapat pada intrumen hukum internasional. Seseorang dalam mengekspresikan pendapatnya wajib tunduk terhadap pembatasan yang berlaku dalam undang-undang maupun hukum internasional. Ketentuan tersebut terdapat dalam Article 19 Universal Declaration of Human Rights (UDHR) yang menyatakan bahwa kebebasan berekspresi tidaklah mutlak sehingga sebebas-bebasnya kebebasan berekspresi tetap memperhatikan batasan yang ada.

Selanjutnya dikuatkan dalam Article 19.3 dan Article 20.2 dalam International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) bahwa kebebasan berpendapat pun tetap berlandaskan pada pertanggungjawaban dan dibatasi oleh keberlakuan hukum yaitu untuk tetap menghormati hak dan reputasi orang lain. Batasan atas kebebasan berekspresi bertujuan untuk mencegah aspirasi yang mengandung propaganda atau ujaran kebencian.

Apabila memperhatikan pembatasan kebebasan berpendapat, polisi virtual agar mampu memahami sejauh mana aspirasi yang diungkapkan masyarakat menimbulkan berbagai ancaman kesatuan bangsa seperti penyebaran hoaks yang menyebabkan perpecahan antar kelompok. Kehadiran polisi virtual wajib disosialisasikan kepada masyarakat agar tidak dijadikan ketakutan untuk menegakkan hak kebebasan berpendapat di sosial media.