Potensi Pelanggaran Hak Asasi Manusia Dalam Perda-Perda Bernuansa Agama

Sebenarnya suatu daerah dapat menerbitkan perda-perda berbau agama selama daerah tersebut didelegasikan secara langsung oleh pemerintah. Misalnya ada di Aceh dimana pemerintah memberinya status sebagai daerah istimewa. Berdasarkan ketentuan pasal 125 Undang-Undang nomor 11 tahun 2006, pelaksanaan syairat islam di Aceh terdiri dari pelaksanaan ibadah, pelaksanaan hukum perdata, penegakan pidana, peradilan, pendididkan, dakwa, syiar dan pembelaan islam. Oleh karenanya pelaksaanan perda bernuansa agama tidak masalah pemberlakuannya selama dilaksanakan pada suatu daerah istimewa atau daerah yang mendapatkan mandat langsung dari pemerintah pusat agar dapat menerbitkan peraturan yang bermotifkan agama.

Namun pada prinsipnya terdapat beberapa bidang tertentu dalam agama yang diurus bersama antara kementerian agama dan pemerintah daerah yaitu sebagai berikut :

  1. Pendirian Rumah ibadah
  2. Pemberdayaan Badan Amil Zakat dan Infak Berdasarkan Undang-Undang Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat
  3. Pelaksanaan musabaqah tilawatil Qur’an (MTQ). Keputusan Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 19 Tahun 1977 dan Nomor 151 Tahun 1977 tentang Pembentukan Lembaga Tilawatil Qur’an (LPTQ)
  4. Monitoring aliran atau ajaran yang menyimpang berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2013 tentang Penanganan Gangguan Keamanan Dalam Negeri Tahun 2013
  5. Dukungan bagi penyelenggaraan haji yang sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang No 13 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji.

Selain daripada hal-hal di atas, penulis tidak melihat urgensi adanya pengaturan agama tertentu dalam peraturan daerah maupun peraturan perundang-undangan lainnya yang diterbitkan oleh pemerintah daerah maupun kepala daerah. Apalagi misalnya pada Perda Serang yang melarang rumah makan untuk buka pada jam puasa, memuat sanksi pidana bagi yang melanggar tanpa memperdulikan agamanya. Padahal sudah jelas dalam Pasal 28 E UUD NRI tahun 1945 dinyatakan bahwa beribadah menurut agama yang dianutnya adalah hak dari setiap warga negara. Pada prinsipnya hak berbeda dengan kewajiban, dimana hak boleh di laksanakan dan boleh tidak (tergantung kehendak penerima hak). Bahkan, pemerintah tidak boleh melakukan paksaan meskipun terhadap umat agama tersebut. Hal ini diatur dalam ICCPR pasal 18 ayat (2) sebagaimana telah diratifikasi Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 12 tahun 2005 dimana salah satu unsur dari kebebasan beragama adalah tidak ada paksaan.