PROBLEMATIKA HAK ASAL-USUL SEBAGAI SUMBER KEWENANGAN DESA

Sementara itu amandemen UUD 1945 tetap menjamin penghormatan serupa dengan merubah isi pasal tersebut menjadi pasal 18A dan pasal 18B. Perubahan dari amandemen ini diantaranya mengganti rumusan “hak-hak asal-usul” menjadi “hak-hak tradisional”. Rumusan “hak-hak istimewa” juga masih ditemukan, hanya saja merujuk pada pemerintah daerah yang diberi otonomi khusus seperti DIY Yogyakarta. Rumusan “daerah besar dan daerah kecil” juga dihapus dan diganti dengan penyebutan provinsi, kabupaten, dan kota sebagai bentuk pembagian daerah di Indonesia. Dengan ketentuan itu, desa tidak lagi masuk dalam hierarki pembagian daerah dalam konstitusi.

Kedudukan pemerintah desa dengan ini dapat ditafsirkan setara dengan kedudukan pemerintah daerah atau pemerintah daerah istimewa. Dengan melihat pada pandangan Prof. Talizindhu Ndraha, kewenangan yang dimiliki desa,yaitu otonomi desa, muncul sebagai konsekuensi “hak bawaaan” yang muncul sebagai akibat dari dirumuskanya hak asal-usul atau hak tradisional apabila merujuk pada perubahan setelah amandemen (Zakarta : 2013). Perubahan ini lantas berdampak pada jaminan akan kedudukan masyarakat hukum adat yang melemah (Zanibar 2007 : 179). Di satu sisi ketentuan yang menghapus hak asal-usul dan rumusan eksplisit Desa juga dapat dilihat sebagai kewajiban pengaturan desa sebagai lembaga otonom yang berada di luar hierarki kedudukan pemerintahan daerah.