Ramai-Ramai Revisi UU ITE: Flashback Pembentukan dan Analisis Politik Hukumnya

Hal ini sebenarnya sudah tentu terjadi karena berdasarkan observasi dan analisis dari tarik menarik kepentingan politik pembentukan UU ITE, pembentukannya lebih di framing pada hal-hal yang berkaitan dengan internet dan terpisah dengan diskursus HAM. Hal ini bisa dilihat dari aktor utama masyarakat yang terlibat dalam pembahasan UU ITE, aktor utamanya bukanlah organisasi masyarakat sipil (OSM) HAM, tetapi komunitas teknis, media pers, dan asosiasi bisnis. Adapun dinamika politik yang bertemu adalah isu yang bertemu politik praktik jangka pendek yaitu isu pornografi (Indri: 2021).

Dari penjelasan diatas, wajar saja bahwa tidak ada yang mampu menemukan kepentingan politis dan hukum apa yang mendasari ketentuan mengenai pencemaran nama baik. Hal ini dikarenakan selain tidak adanya diskursus yang mendalam mengenai hal ini, tidak dilibatkannya masyarakat juga membuat rumusan pasal tersebut justru menjadi pasal karet dalam masyarakat.

Implementasi Kebijakan UU ITE

Tujuan dibentuknya UU ITE ini adalah untuk mendukung pengembangan teknologi informasi melalui infrastruktur hukum dan pengaturannya sehingga pemanfaatan teknologi informasi dilakukan secara aman untuk mencegah penyalahgunaannya dengan memperhatikan nilai- nilai agama dan sosial budaya masyarakat Indonesia. Namun, pada pelaksanaannya ketentuan di dalam Pasal 27 ayat (3) pada satu sisi justru ditujukan untuk melindungi hak- hak dan reputasi orang lain dan di sisi lain juga dianggap sebagai upaya kontrol yang kuat oleh pemerintah terhadap pandangan dan hak masyarakat dalam berekspresi. Selain itu, adanya duplikasi tindak pidana dengan ketentuan yang ada di KUHP akan mengakibatkan tumpang tindih dengan konsekuensi utama ketidakpastian hukum.