Reformulasi Checks and Balances di Indonesia: Analisa Perubahan Kewenangan Presiden dalam Sistem Presidensial Indonesia Pasca-Reformasi

Perubahan UUD 1945 melahirkan satu kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam bentuk kelembagaan yang setara. Jika dihadapkan dengan doktrin klasik separation of powers, kekuasaan negara yang diberikan kepada lembaga-lembaga yang terpisah satu dengan lainnya dalam rangka menghindarkan terjadinya campur tangan yang satu terhadap yang lain, maka mekanisme checks and balances pasca perubahan UUD 1945 tampaknya dapat juga dianggap satu pelunakan terhadap doktrin separation of powers atau pembagian kekuasaan negara dengan menghubungkan cabang kekuasaan yang saling terpisah. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah lahirnya kekuasaan yang bersifat mutlak tanpa pengawasan.

Pada dasarnya, pemerintahan dengan sistem presidensial merupakan suatu pemerintahan yang menempatkan eksekutif bertanggung jawab kepada rakyat yang memilih (Syafiie, 2003: 27). Berbeda halnya dengan sistem parlementer dimana eksekutif bertanggung jawab kepada parlemen (DPR), dengan kata lain kekuasaan eksekutif berada diluar pengawasan secara langsung parlemen. Dalam sistem presidensial, presiden memiliki kekuasaan yang kuat, karena selain sebagai kepala negara juga sebagai kepala pemerintahan. Sebelum amandemen UUD 1945, Presiden memiliki kekuasaan yang sangat kuat (executive heavy) karena disamping mempunyai kekuasaan legislatif untuk membentuk undang-undang juga menguasai cabang-cabang kekuasaan yudikatif hal ini dapat dilihat dalam pemberian amesti, abolisi dan grasi.