Rentannya Pasal Inkonstitusional: Gagasan Constitutional question di Indonesia.

Oleh :Josua Satria Collins

(Internship Advokat Konstitusi)

November 2018, Sadikin Arifin, seorang terdakwa kasus narkotika, memohonkan uji materi Pasal 42 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi. Ia meminta agar Mahkamah Konstitusi (MK) memperluas pihak yang dapat meminta rekaman telepon dalam proses peradilan pidana. Permohonan ini diajukan karena ia tidak diperbolehkan meminta rekaman ponselnya dalam proses persidangan kasus pidananya. Pada akhirnya, Sadikin dijatuhi pidana oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada 4 Desember 2018 meskipun perkara Judicial Review yang diajukannya baru diputus Hakim Konstitusi pada 15 April 2019.

Cerita di atas menggambarkan belum terkoneksinya persidangan perkara di pengadilan umum dengan Mahkamah Konstitusi. Imbasnya, mekanisme peradilan di Indonesia tidak menjamin terdakwa diadili dan bahkan dihukum berdasarkan ketentuan yang diragukan konstitusionalitasnya. Artinya, terbuka ruang terlanggarnya hak terdakwa dan tidak tercapainya fair trial dan due process of law.

Constitutional question dapat menjadi solusi atas permasalahan tersebut. Constitutional question secara leksikal memiliki arti persoalan konstitusional atau pertanyaan konstitusional (Hamidi, 2010). Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 013-022/PUU-IV/2006 mendefinisikan constitutional question sebagai “terjadi apabila seorang hakim di luar hakim konstitusi (termasuk hakim di peradilan umum) meragukan konstitusionalitas suatu norma hukum yang hendak diterapkan dalam suatu kasus konkret, sehingga sebelum memutus kasus dimaksud hakim yang bersangkutan mengajukan permohonan (pertanyaan) terlebih dahulu ke MK perihal konstitusionalitas norma hukum tadi.” Secara global, banyak negara yang telah menerapkan mekanisme constitutional question seperti Jerman, Kroasia, hingga Perancis.