RESTRUKTURISASI SISTEM PENEGAKAN HAM SEBAGAI UPAYA MENGEMBALIKAN MARWAH NEGARA HUKUM PANCASILA

Faktanya, hingga kini kasus pelanggaran HAM yang meliputi kriminalisasi dan diskriminasi masih menjadi warisan sejarah yang tak kunjung dituntaskan oleh negara. Fenomena ini berpengaruh pada lahirnya impunitas dalam berbagai tragedi pelanggaran HAM. Impunitas muncul sebagai bentuk ketidakmampuan negara untuk membawa para pelaku kejahatan mempertanggungjawabkan tindak pidana mereka melalui jalur hukum serta memberikan reparasi bagi para korban terdampak (Kontras, 2005: i).

Gagalnya pemerintah Indonesia dalam mengusut tuntas kasus pelanggaran HAM merupakan implikasi dari kondisi fluktuatif yang digambarkan sebagai pertarungan antara pemenuhan keadilan transisi yang diperjuangkan kaum reformis dan kepentingan konsolidasi demokrasi yang melibatkan aktor utama sebagai pelaku masa lalu.Politisasi instrumen hukum terlihat jelas dalam perumusan undang-undang di bidang HAM baik dari segi filosofis maupun teknis redaksional.

Sebagai contoh, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM (UU 26/2000) mengadopsi secara parsial yurisdiksi Pengadilan Pidana Internasional dari Statuta Roma yang justru menghilangkan fungsi strategis Pengadilan HAM. Pelemahan secara fundamental dapat terlihat jelas melalui terbatasnya kewenangan Komnas HAM dalam bidang penegakan hukum, tidak adanya regulasi derivat hukum acara Pengadilan HAM serta penyimpangan penerjemahan Statuta Roma yang berdampak pada kaburnya pemaknaan Pelanggaran HAM dan yurisdiksi Pengadilan HAM. Banyaknya kelemahan substansial ini kemudian menempatkan Indonesia sebagai surga bagi kejahatan tanpa hukuman (Todung Mulya Lubis, 2005: 3).