Sengketa Pajak di Indonesia dan Penyelesaiannya

Pelaksanaan Undang-Undang No. 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) sejauh ini membawa perubahan yang cukup besar dalam sistem perpajakan di Indonesia yang awalnya menganut official assessment system (sistem pemungutan perpajakan yang memberikan wewenang kepada wajib pajak untuk menentukan besarnya pajak terutang) menjadi self-assessment system. Berdasarkan self-assessment system, Wajib Pajak (WP) memberikan kepercayaan penuh untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan pajaknya sendiri sementara, disisi lain, otoritas perpajakan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) berperan sebagai penyuluh, pelayan, dan pengawas pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakan. Keberhasilan penerapan self-assessment system sangat tergantung pada tingkat kepatuhan wajib pajak dan efektivitas mekanisme pengawasan otoritas pajak. Berdasarkan Undang-Undang KUP, mekanisme pengawasan utama penegakan DJP adalah penelitian dan kajian. Pasal 1 Undang-Undang KUP mendefinisikan penelitian sebagai rangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pemberitahuan dan lampirannya, termasuk menilai kebenaran penulisan dan perhitungannya.

Selain pembatasan dan memberikan rasa keadilan yang diberikan oleh Undang-undang Pengadilan Pajak, peraturan perpajakan Indonesia memberi wajib pajak ruang gerak yang sangat luas untuk bervariasi sesuai dengan kompleksitas materi yang dipersengketakan serta waktu dan biaya yang dialokasikan. Pasal 16 dan 36 Undang-Undang KUP mengatur tentang pembetulan, pengurangan atau pembatalan sanksi administrasi, pengurangan atau pembatalan keputusan administratif (Surat Ketetapan Pajak dan Surat Perpajakan) melalui mekanisme “Peradilan Tata Usaha (Quasi-Yudicial/Quasi-Judicial)”. Ketidakbenaran dan pembatalan hasil pemeriksaan pajak tanpa menyampaikan pemberitahuan hasil pemeriksaan atau pembahasan akhir dengan Wajib Pajak.