Sengketa Pajak di Indonesia dan Penyelesaiannya

Cara lain untuk penyelesaian sengketa yang tersedia bagi wajib pajak adalah mengikuti prosedur hukum (pro justitia) yang diatur dalam Pasal 25 dan 27 Undang-undang KUP dan Pasal 77 Undang-undang Pengadilan Pajak. Melalui mekanisme ini, Wajib Pajak dapat mengajukan keberatan atas keputusan administratif (Surat Ketetapan Pajak dan pemotongan pajak pihak ketiga) kepada Direktur Jenderal Pajak, yang dapat dilanjutkan dengan prosedur banding di Pengadilan Pajak, dan sebagai upaya hukum khusus, tinjauan Mahkamah Agung. Forum penyelesaian sengketa paling terakhir yang dapat ditempuh oleh Wajib Pajak, khususnya untuk sengketa perpajakan yang berkaitan dengan penanaman modal dan transaksi internasional adalah mekanisme penyelesaian sengketa yang diatur dalam perjanjian internasional di bidang perpajakan (Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda/P3B), investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT), dan Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/FTA) melalui prosedur persetujuan bersama (Mutual Agreement Process/MAP), negosiasi dan arbitrase internasional.

Penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional tidak populer karena biaya yang cukup mahal untuk registrasi sengketa dan jasa pengacara serta tidak adanya lembaga arbitrase internasional yang khusus menangani sengketa perpajakan sehingga Wajib Pajak harus mendaftarkan sengketanya ke arbiter yang menangani sengketa perdagangan dan investasi secara umum seperti International Centre for Settlement of Investment Disputes dan United Nations Commission on International Trade Law. Namun kedepannya, penyelesaian sengketa pajak melalui arbitrase internasional akan mendapat banyak perhatian seiring dengan implementasi Base Erosion and Profit Shifting Action 14 melalui Multilateral Instrument yang mengamanatkan penyelesaian sengketa secara lebih efektif termasuk klausul untuk menerapkan mandatory binding arbitration dalam proses MAP.