Setengah Hati Revisi UU ITE

Egi Purnomo Aji

(Internship Advokat Konstitusi)

Presiden Jokowi belakangan dalam sambutannya mengatakan bahwa akan meminta kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk bersama-sama merevisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jika dalam implementasinya tidak dapat memenuhi rasa keadilan di masyarakat. Dewasa ini, realitasnya UU ITE masih menjadi momok menakutkan sekaligus senjata untuk memberangus kebebasan berpendapat masyarakat. Dapat dilihat salah satu Pasal yang sering dijadikan landasan untuk mengkriminalisasikan seseorang yang menyampaikan pendapat di dunia maya adalah Pasal 27 ayat (3) yang berbunyi “setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik”.

Sebagai ilustrasi berdasarkan, laporan Southeast Asia Freedom Of Expression Network menyimpulkan Pemidanaan terhadap hak kebebasan berpendapat dengan menggunakan pasal karet di UU ITE masih terjadi sepanjang 2019. Data yang masuk terdapat 24 kasus pemidanaan, yang mana dari aspek pasal pemidanaan yakni Pasal 27 ayat 3 UU ITE (defamasi/ pencemaran nama baik) paling banyak digunakan yakni sebanyak 10 kasus. Berdasarkan ilustrasi tersebut, muncul pertanyaan apakah urgen UU ITE untuk direvisi saat ini, guna memenuhi rasa keadilan masyarakat yang telah terzholimi.

UU ITE Tidak Masuk dalam Prolegnas

Program Legislasi Nasional (Prolegnas) merupakan tahapan proses perencanaan penyusunan undang-undang yang disusun dalam skala prioritas program pembentukan UU dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas terbagi menjadi dua yaitu: Pertama, Prolegnas untuk jangka waktu 5 tahun (jangka menengah) yang dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR. Prolegnas jangka menengah memuat penugasan ke DPR, Dewan Perwakilan Daerah, dan Pemerintah untuk menyiapkan Naskah Akademik dan rancangan undang-undang. Kedua, Prolegnas tahunan (Prolegnas prioritas) untuk tahun pertama dilakukan bersamaan dengan penyusunan Prolegnas jangka menengah, dan dilaksanakan setiap tahun serta dapat dievaluasi sewaktu-waktu dan bisa berimplikasi pada perubahan Prolegnas jangka menengah. Selain itu, adapula Prolegnas prioritas yang merupakan instrumen perencanaan program pembentukan UU yang disusun secara terencana, terpadu, dan sistematis.

Sejatinya dalam penyusunan prolegnas haruslah memperhatikan beberapa hal berikut: (1), perintah UUD NRI tahun 1945, (2) perintah TAP MPR RI, (3) perintah UU lainnya, (4) sistem perencanaan pembangunan nasional, (5) rencana pembangunan jangka panjang nasional (6) rencana pembangunan jangka menengah (7) rencana kerja pemerintah dan rencana strategis DPR (8) Aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat. Berdasarkan delapan dasar penyusunan Prolegnas, terdapat salah satu poin yang selaras dengan kondisi saat ini, yakni adanya poin aspirasi dan kebutuhan hukum masyarakat, jika merujuk hal ini seharusnya revisi UU ITE urgen menjadi bagian dalam Prolegnas prioritas. Kendati demikian, Badan Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam rapatnya menetapkan 33 Rancangan UU dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas di tahun 2021. Ironi, sungguh disayangkan dari 33 RUU tersebut, UU ITE tidak menjadi salah satu bagiannya, hal ini sejalan dengan sebuah adagium “jauh panggang dari api” yang menyiratkan bahwa sungguh bertolak belakang apa yang disampaikan Presiden Jokowi dalam sambutannya dan juga berdasarkan fakta data yang disebutkan di atas. Padahal untuk dapat merevisi sebuah UU dengan segera dan optimal dan demi tercapainya rasa keadilan bagi masyarakat, merupakan sebuah keharusan untuk memasukan wacana tersebut menjadi bagian Prolegnas prioritas.

Kebutuhan Masyarakat

Menurut Sheehan, dalam buku “The Balance of Power”, menyatakan bahwa posisi UU ITE dan Pemerintah sangatlah kuat, sehingga berimplikasi pada kecenderungan suatu kebijakan yang mengarah ke otoriter, maka secara rasionalisasi masyarakat menyikapinya hal tersebut sebagai ancaman bagi keamanan dan meresponnya dengan upaya perimbangan dengan kata lain penyampaian aspirasi guna kebutuhan hukum masyarakat terpenuhi dan untuk melindungi iklim demokrasi. Upaya tersebut dapat dilakukan secara sendiri maupun dengan bantuan kekuatan lain, untuk meningkatkan kekuatannya. Kemudian terkait posisi masyarakat yang lemah (tidak berdaya) sebab jelas yang hegemonik adalah UU dan Pemerintah pasti akan menang.

Oleh karena itu, sebagai solusi yang cocok dapat melalui “bargaining” hal ini dimaksudkan, seharusnya dilakukan oleh DPR selaku representasi wakil rakyat atau sebagai bantuan kekuatan lain. DPR harus responsif karena “korban” UU ITE adalah rakyat, tokoh kritis yang dianggap tidak sejalan dengan Pemerintah dan ulama yang membela kebenaran. DPR seharusnya membela dan melindung rakyat karena itulah fungsi dan tugas mereka yang harus dituangkan dalam legislasi. Problem saat ini adalah, bagaimana agar DPR sesuai kewenangan yang diberikan konstitusi dapat mengambil inisiatif untuk merevisi pasal-pasal karet dalam UU a quo, terlebih Pasal 27 ayat (3).

Jika saja DPR responsif, menteri bahkan presiden telah memberi sinyal agar UU ITE segera direvisi jika dirasa belum menghadirkan rasa keadilan di masyarakat. Di sinilah kesempatan bagi DPR menggunakan hak inisiatifnya dalam bidang legislasi untuk berpihak pada rakyat. Manifestasi konstitusi tinggal hanya dalam kertas, jika ia tidak dijadikan pijakan aturan bernegara, ia telah dikhianati secara telanjang. Postulat memajukan rakyat pemilik kedaulatan dalam cerita demokrasi hanya seperti mantra-mantra yang menipu mereka, jika itu tidak dikawal. Semoga, wacana ini bukanlah sebuah wacana yang dijalankan secara setengah hati.