“Spill The Tea” Pelecehan Seksual di Media Sosial, Terjerat UU ITE?

Perlakuan aparat penegak hukum yang tidak seharusnya itu dapat kita lihat dalam kasus seseorang berinisial MS. MS mengalami pelecehan seksual oleh seniornya di kantor sejak tahun 2012. Namun, MS baru memiliki keberanian untuk melapor perkara tersebut ke kepolisian pada 2019. Laporan tersebut tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian dan menganjurkan korban untuk menyelesaikan perkara pelecehan tersebut secara internal dengan melapor ke atasan. Kejadian yang sama terjadi pada Mar, warga paesamoen, NTT. Mar menerima penyerangan seksual oleh Komar dan melaporkan hal tersebut ke pihak yang berwajib. Namun, korban malah diminta untuk mencari saksi tambahan oleh penyidik kepolisian dan korban tidak mendapatkan tanda terima laporan sebagaimana lazimnya sebuah kasus.

Tidak hanya sisi positif namun terdapat sisi negatif dari speak up pelecehan seksual di sosial media. Salah satu sisi negatifnya adalah korban pelecehan seksual seringkali mendapat tuntutan balik oleh terduga pelaku. Korban seringkali menyebutkan identitas terduga pelaku atau tidak jarang warganet yang menebak nebak atau mencari siapa terduga pelaku lewat petunjuk yang diberikan oleh korban. Hal ini membuat korban dapat dituntut balik dengan Pasal 27 ayat (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) terkait pencemaran nama baik.