Sudut Pandang Lain Pertanggungjawaban Pidana

Mengacu pada amanat Pasal 44 Ayat 1 tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak setiap orang yang melakukan tindak pidana dapat dibebankan pertanggungjawaban pidana. Asas geen straf zonder schuld (tiada pidana tanpa kesalahan) adalah basis dalam menentukan pertanggungjawaban pidana yang berkorelasi dengan penjatuhan sanksi. 

Demi mewujudkan keadilan, terdapat penjatuhan sanksi khusus terhadap terpidana dengan gangguan kejiwaan. Aturan mengenai sanksi untuk terpidana dengan gangguan kejiwaan termaktub dalam Pasal 44 Ayat 2 yang menyatakan: 

“Jika ternyata perbuatan itu tidak dapat dipertanggungkan kepada pelakunya karena pertumbuhan jiwanya cacat atau terganggu karena penyakit, maka hakim dapat memerintahkan supaya orang itu dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan.”

Mengacu pada formulasi pasal 44, dalam suatu kasus tindak pidana, hanya hakim yang diberikan wewenang untuk menentukan/memutus ada atau tidaknya penyakit kejiwaan pada pelaku tindak pidana. Namun, dalam menjalankan wewenangnya, hakim tidak bisa serta merta memutus bahwa terpidana memiliki penyakit kejiwaan. Untuk menentukan seseorang terdakwa/terperiksa secara psikiatri (kejiwaan) terganggu jiwanya, diperlukan bukti berupa keterangan ahli psikiatri dan dokumen tertulis (Visum et Repertum Psychiarticum).