Sulitnya Pendirian Rumah Ibadah di Indonesia, Masyarakat Intoleran atau Regulasi bersifat Diskriminatif

Dari tahun ke tahun secara berulang terjadi penolakan pendirian rumah ibadah pada banyak daerah di Indonesia. Terdapat berbagai pembenaran untuk tindakan intoleran penduduk sekitar seperti rumah ibadah tidak memiliki izin. Perber 2 menteri yang menimbulkan problematika diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah juga didukung oleh pemerintah daerah yang tidak berusaha menekan kelompok intoleran, melainkan menyudutkan kaum minoritas. Sejak 2007 hingga 2018 berdasarkan data setara institue, terdapat ratusan kasus penolakan dan penyerangan pendirian rumah ibadah. Kasus tertinggi adalah penolakan dan penyerangan pendirian gereja yaitu 199 kasus, kemudian disusul oleh pendirian masjid dengan 133 kasus. Terlebih lagi, data Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menunjukkan dalam 10 hingga 15 tahun terakhir terjadi sekitar 500-600 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan, khsusnya dalam kasus pendirian rumah ibadah. 

Fakta ini menunjukkan bahwa persyaratan dukungan secara kuantitatif belaka berpotensi untuk diselewengkan. Hal ini disebakan peran serta masyarakat dalam pendirian rumah ibadah hanya diukur dari jumlah dukungan tetapi mengabaikan pendapat warga secara kualitatif terhadap keberadaan rumah ibadah yang akan didirikan dan ada tidaknya dampak pendirian rumah ibadah tersebut bagi lingkungan. Menjadi pertanyaan mengapa sikap intoleransi tersebut harus di akomodasi oleh undang-undang sehingga masyarakat yang memiliki sikap intoleran memiliki payung hukum dan sikap intoleransi mereka dapat terlaksana secara legal.  Indonesia merupakan negara yang mengamini perbedaan dan mengakui adanya 6 agama, seharusnya peraturan yang mempersulit warga untuk beribadah atau menjalankan agamanya dihapuskan.