Sunat Perempuan: Kebudayaan atau Penindasan

Oleh : Haikal Fikri 

(Internship Advokat Konstitusi)

Secara etimologi, istilah yang lebih tepat untuk menggambarkan aktivitas “sunat perempuan” adalah female genital mutilation atau mutilasi alat kelamin perempuan. Pasalnya pada sunat ini bukan hanya pada kulup atau lipatan kulit yang mengelili klitoris saja yang diangkat, akan tetapi secara keseluruhan klitoris itu sendiri. Sunat perempuan dikenal sebagai “sebuah tradisi kebudayaan” yang telah dilakukan sejak dahulu. Tanpa alasan medis yang jelas, sunat perempuan justru seringkali dilakukan karena alasan sosial dan budaya yang telah hidup sejak zaman kakek moyangnya. Bahkan dalam beberapa budaya, sunat perempuan dijadikan suatu syarat untuk seorang wanita ketika hendak melakukan pernikahan atau sekedar sebagai bentuk penghormat seorang wanita kepada keluarga.

World Health Organization (WHO) sebagai organisasi kesehatan internasional memperkirakan bahwa setidaknya dari 20 anak dan perempuan dewasa terdapat seorang perempuan yang mengalami praktik “Sunat Perempuan”. Penelitian yang dilakukan oleh WHO tersebut juga berkesesuaian dengan United Nations Children’s Fund (UNICEF) yang menyatakan lebih dari 200 juta anak dan perempuan dewasa menjadi korban dari praktik “sunat perempuan”. Lebih lanjut, UNICEF menemukan bahwa di 30 Negara Afrika dan Timur Tengah masih melakukan untuk menjaga suatu keberlangsungan tradisi yang telah ada. Bahkan di beberapa negara di Asia dan Amerika Selatan juga menerapkan praktik “sunat perempuan”, tak terkecuali Indonesia.