Sunat Perempuan: Kebudayaan atau Penindasan

Peneliti Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan (PSKK) Universitas Gadjah Mada yang melakukan kajian terkait informasi mengenai sunat perempuan di sepuluh provinsi di Indonesia menghasilkan fakta yang mencengangkan. Dari 4.250 rumah tangga yang menjadi subyek penelitian, sebanyak 97,8% menyatakan dukungannya untuk melakukan sunat perempuan yang disebabkan oleh beberapa alasan seperti: Adanya perintah dari orang tua serta doktrin agama dan tradisi yang ada di lingkungannya. Hasil kajian ini berkesesuaian dengan hukum positif yang berlaku sebagai payung hukum dalam praktik “Sunat Perempuan” di Indonesia. Hingga saat ini hanya terdapat dua dasar hukum yang mengatur terkait praktik “sunat perempuan”, yaitu Fatwa Majelis Ulama Indonesia Pada 7 Mei 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan. Kedua aturan tersebut masing-masing menyediakan ruang untuk dilakukannya praktik “sunat perempuan”

Berdasarkan Fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang Hukum Pelarangan Khitan, terdapat suatu penetapan yang menarik untuk mendapat kajian lebih lanjut, yaitu;

  1. Sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan termasuk fitrah (aturan) dan syiar Islam.
  2. Sunat terhadap perempuan adalah makrumah, pelaksanaanya sebagai salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan;
  3. Pelarangan sunat terhadap perempuan adalah bertentangan dengan ketentuan syari’ah, karena sunat, baik bagi laki-laki maupun perempuan, termasuk fitrah (aturan) dan syiar islam;
  4. Namun, dalam pelaksanaanya, sunat terhadap perempuan harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut: Sunat perempuan dilakukan cukup dengan hanya menghilangkan selaput (jaidah/colum/praeptium) yang menutupi klitoris dan tidak boleh dilakukan secara berlebihan, seperti memotong atau melukai klitoris (insisi dan eksisi) yang mengakibatkan dlarar.

Pandangan MUI atas pelaksanaan praktik “sunat perempuan” mendapat dukungan oleh pemerintah. Melalui Permenkes Nomor 6 Tahun 2014 Pemerintah memperbolehkan praktik “sunat perempuan” dengan memberikan mandat kepada Majelis Pertimbangan Kesehatan dan Syara’k untuk menerbitkan pedoman penyelenggaraan sunat perempuan yang menjamin keselamatan dan kesehatan perempuan yang disunat serta tidak melakukan mutilasi alat kelamin perempuan sebagaimana praktik “sunat perempuan” yang terjadi di luar negeri. Pemberian ruang untuk dilakukannya praktik “sunat perempuan” oleh pemerintah tentunya sangat mengherankan, mengingat alasan utama pemerintah untuk melegalkan praktik yang dapat merugikan perempuan ini justru didasarkan pada aspek budaya dan keyakinan masyarakat Indonesia yang hingga saat ini masih terdapat permintaan dilakukannya sunat perempuan. Padahal hingga saat ini “sunat perempuan” belum dikategorikan sebagai tindakan kedokteran karena tidak dilakukan berdasarkan indikasi medis dan belum terbukti bermanfaat bagi kesehatan. Artinya praktik ini hanya “semata-mata” dilakukan untuk kebudayaan dan keyakinan yang ada di kalangan masyarakat.