Tinjauan Terhadap Penonaktifan RT/RW di Kota Makassar

Oleh : Desi Fitriyani

Polemik rencana kebijakan penonaktifan RT dan RW oleh Walikota Makassar hingga saat ini masih bergulir. Rencana tersebut muncul akibat beberapa RT dan RW yang tidak mendukung program kerja Makassar Recovery. Makassar Recover adalah program andalan pasangan Walikota dan Wakil Walikota usai dilantik bulan Februari 2021. Danny Pomanto selaku Walikota curiga sejumlah Ketua RT dan RW di Kota Makassar masih terbawa suasana politik, sehingga tidak mendukung program kerjanya. (Kumparan, 2021). Hal tersebut kemudian diperjelas dengan tindakan beberapa RT dan RW yang tidak mengurusi refocusing anggaran. (Ashari,2021). Oleh karena itu, demi terlaksananya program kerja tersebut, Walikota Makassar kemudian memilih untuk menonaktifkan semua RT dan RW, yang kemudian akan menunjuk Plt hingga pemilihan RT dan RW 2022 mendatang. Atas problematika tersebut, apakah rencana kebijakan penonaktifan RT dan RW oleh Walikota dengan alasan di atas dapat dibenarkan.

RT dan RW merupakan salah satu Lembaga Kemasyarakatan Desa (LKD). Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 18 Tahun 2018 tentang Lembaga Kemasyarakatan Desa dan Lembaga Adat Desa (Permendagri 18/2018) , LKD adalah wadah partisipasi masyarakat, sebagai mitra Pemerintah Desa, ikut serta dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan pembangunan, serta meningkatkan pelayanan masyarakat Desa. Dalam Pasal 150 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2015 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, dan Pasal 3 ayat (1) Permendagri 18/2018, disebutkan bahwa LKD dibentuk atas prakarsa Pemerintah Desa dan masyarakat. Jenis LKD paling sedikit meliputi:

  1. Rukun Tetangga (“RT”);
  2. Rukun Warga (“RW”);
  3. Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga;
  4. Karang Taruna;
  5. Pos Pelayanan Terpadu; dan
  6. Lembaga Pemberdayaan Masyarakat.

Mengenai “penonaktifan” sebenarnya tidak ada ketentuan dalam regulasi terkait yang memberikan definisi. Namun jika mengacu pada KBBI, maka menonaktifkan adalah menjadikan tidak aktif. Sehingga menonaktifkan RT dan RW sama halnya dengan memberhentikan RT dan RW. Berdasarkan Pasal 14 Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Dalam Daerah Kota Makassar, telah memberikan beberapa alasan pemberhentian RT dan RW, yaitu apabila :

  1. Berakhirnya masa bakti sebagaimana dimaksud Pasal setelah terpilih pengurus baru;
  2. Dijatuhi hukuman pidana karena melakukan tindak pidana kejahatan berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap;
  3. Meninggal dunia;
  4. Menyatakan mengundurkan diri;
  5. Tidak berdomisili lagi di wilayah kerjanya.

Mengacu pada beberapa alasan di atas, maka jelas alasan rencana penonaktifan RT dan RW yang dilakukan oleh Walikota Makassar telah menabrak ketentuan yang ada. Oleh karena itu, rencana kebijakan tersebut perlu ditinjau kembali. Dalam merumuskan sebuah kebijakan Thomas R. Dye menguraikan beberapa tahapan, diantaranya sebagai berikut (Sholih, 2016: 199) :

  1. Identifikasi masalah. Dikaitkan dengan rencana kebijakan penonaktifan RT dan RW, maka perlu terlebih dahulu dilakukan pengkajian apa yang menjadi masalah, sehingga beberapa RT dan RW tidak mendukung program kerja Makassar Recovery.
  2. Penyusunan agenda. Dalam hal penyusunan agenda, maka perlu diuraikan pula apa tujuan dari kebijakan penonaktifan RT dan RW tersebut. Tentunya hal ini haruslah merupakan hasil konsultasi publik.
  3. Perumusan kebijakan. Dalam perumusan kebijakan RT dan RW, maka harus menggunakan pertimbangan hukum sehingga keberlakuannya dapat dipatuhi. Seperti apakah regulasi yang ada telah memberikan wewenang tersebut kepada Walikota, apakah alasan penonaktifannya dibenarkan.
  4. Pengesahan kebijakan.
  5. Implementasi kebijakan.
  6. Evaluasi kebijakan.

Jika rencana kebijakan penonaktifan RT dan RW tersebut tetap diwujudkan, maka akan menimbulkan beberapa dampak. Pertama, akan memberikan preseden yang buruk, karena tidak sesuai dengan ketentuan Peraturan Daerah Nomor 21 Tahun 2001 tentang Pedoman Pembentukan Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Dalam Daerah Kota Makassar. Kedua, proses pelayanan publik juga dapat terhambat. Misalnya saja dalam hal pengurusan surat keterangan domisili, tentunya masyarakat akan mendatangi RT dan RW terlebih dahulu sebelum mendatangi kelurahan, namun atas problematika yang ada, pengurusan surat keterangan domisili tadi dapat saja tertunda, akibat penolakan dari RT dan RW karena merasa sudah tidak berwenang atau bahkan karena terjadi kekosongan jabatan akibat penonaktifan yang dilakukan oleh Walikota Makassar. Oleh karena itu, Penulis mengharapkan agar Walikota Makassar meninjau ulang rencana kebijakan tersebut.