Urgensi Judicial Preview Bagi Undang-Undang Ratifikasi

Hal demikian pernah terjadi dalam Pengujian Undang-Undang No. 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN (ASEAN Charter). Pemohon menganggap secara substansial, Piagam ASEAN bertentangan dengan Pandangan Dasar ekonomi Indonesia sebagaimana Pasal 33 UUD 1945.

Dalam putusannya, MK menolak permohonan tersebut, bukan memutuskannya ‘tidak dapat diterima’. Artinya, Mahkamah Konstitusi mengamini secara kelembagaan ia berhak menguji Undang-Undang yang meratifikasi Perjanjian Internasional. Walau terdapat dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Maria Farida dan Hamdan Zoelva yang berpendapat menguji substansi perjanjian internasional bukanlah kewenangan MK, sehingga seharusnya majelis hakim memutuskan permohonan ‘tidak dapat diterima’.

Dari putusan tersebut, dapat dipahami bahwa MK menganut paham dualisme dalam memandang hubungan hukum internasional dengan hukum nasional. Di mana hukum internasional hanya dapat berlaku apabila diratifikasi secara formal ke dalam hukum nasional.Hal tersebut agaknya dapat mengganggu kinerja Kementerian Luar Negeri sebagai ujung tombak diplomasi (Shidarta, 2020).

Mari kita bayangkan ketika misalnya MK menyatakan suatu Undang-Undang Ratifikasi inkonstitusional. Maka mau tidak mau, Indonesia harus mundur dari Perjanjian Internasional tersebut. Dan perlu diingat, tidak semua Perjanjian Internasional memuat ketentuan pengunduran diri bagi para pihak penandatangan perjanjian. Problematis.Pikirkan pula konsekuensi diplomatis yang sangat mungkin terjadi apabila Indonesia mundur dari Perjanjian Internasional.